55

782 174 22
                                    

[ MARK ]

I'll show you what it feels like
Now I'm on the outside
We did everything right
Now I'm on the outside
.......................

Tepuk tangan meriah menjadi tanda berakhirnya penampilan Wendy malam ini. Syukurlah seperti yang kuharapkan, aku bisa menyelesaikan pekerjaanku dengan baik hingga bisa menonton Wendy bernyanyi.

Seperti biasa Wendy membungkuk hormat pada pengunjung Café Hometown dan turun dari panggung sambil tersenyum. Dia langsung berjalan ke arahku dengan tas gitarnya.

"Mana Seoul Latte?" tanya Wendy memberiku tatapan berbinar.

"Ah, maaf. Aku terlalu sibuk menontonmu bernyanyi," jawabku jujur membuat Wendy tertawa dan memukul bahuku.

Aku masih memakai pakaian kerjaku dan sama sekali tidak terpikirkan untuk membuat Seoul Latte. Aku memang manja, baru sehari bekerja di SBS TV sudah membuat diriku berbeda.

"Bagaimana hari pertama kerjamu? Kenapa kamu pulang cepat? Kupikir pegawai kantoran akan lembur," omel Wendy tidak henti-henti.

"Lumayan, aku belum membuat kesalahan apapun," ungkapku bangga.

Baru saja aku hendak menyentuh kedua bahu Wendy, Irene datang sambil memberi sebuah amplop padaku. Dia menatap kami berdua bergantian.

"Apa ini?" tanyaku sambil menunjuk amplop berwarna cokelat yang lumayan tebal.

Irene menghela napas dan berkata, "Ini biaya reservasi meja. Aku perlu bayar ke kamu, 'kan?"

"Hah? Nggak usah, Irene. Kamu nggak perlu bayar," kataku menolak sehalus mungkin. Untuk apa Irene mengeluarkan uang demi menyewa tempat di Café Hometown? Dia sudah banyak membantuku, dia berhak mendapat fasilitas secara gratis.

Kini karena kehadiran Irene, perhatian Wendy pun teralih. "Irene, tadi kamu duduk di meja bersama banyak cowok. Kamu nggak apa-apa?"

"Ah, mereka staff MV dari Century Music," cerita Irene sambil tersenyum. "Mereka membahas konsep dan jalan cerita MV bersamaku. Syukurlah mereka semua orang baik!"

Wendy menggenggam tangan Irene begitu kuat. "Kamu mau jadi model MV? Selamat, Irene! Ini pekerjaan pertamamu sebagai model MV, 'kan?"

Waktu berjalan dari detik menuju menit menuju jam menuju hari. Tanpa kami sadari, kami selalu membuat langkah baru dalam karir kami. Aku sebagai asisten penulis naskah, Wendy sebagai penyanyi, dan Irene sebagai model.

"Aku juga belum mengucapkan selamat," sahutku kemudian menggenggam tangan Irene yang satu lagi. "Selamat, Irene. Aku bangga padamu."

Terasa kurang jika kami mengakhiri obrolan sampai di sini, karena itu kami pindah ke meja untuk tiga orang dan aku mulai menceritakan bagaimana pekerjaanku di hari pertama.

Baik Wendy maupun Irene sangat terkejut saat tahu aku harus membaca banyak sekali naskah seharian ini dan mereka bertanya apa aku mengalami kesulitan.

"Lalu bagaimana tanggapan sunbae kamu saat melihat hasil dialogmu?" tanya Wendy penasaran.

Aku juga sadar bahwa sekarang Wendy sudah mulai terbuka padaku. Dia jarang bertanya tentang apa yang aku alami, tapi sekarang semua itu terjadi begitu saja. Dia begitu peduli padaku.

"Choi sunbae suka dengan dialog buatanku. Dia dan Asisten Kim banyak membantuku dalam pemilihan kata," ujarku bercerita. "Aku masih harus banyak belajar."

Wendy mengangguk kemudian kembali memperhatikan Irene. "Lalu bagaimana dengan diskusimu hari ini? Lancar, 'kan?"

Irene mengangguk cepat. "Lancar, sih. Tapi hanya empat orang yang berdiskusi denganku. Yang satu lagi pergi dari café dan nggak kembali sama sekali."

"Oh, iya. Kamu menyewa meja untuk enam orang, 'kan?" tanyaku kemudian Irene mengangguk lagi.

"Yang satu lagi Suga, 'kan? Tadi dia menarikku keluar dari café," tambah Wendy dengan suara pelan.

"Itu dia, Wendy. Aku ingin bertanya padamu," Irene berubah sangat serius. "Kenapa dia tiba-tiba menarikmu keluar? Apa yang kalian lakukan sebelum kamu kembali ke café lagi?"

Ah, aku juga penasaran. Saat aku tiba di Café Hometown, aku melihat Wendy dan Suga berbicara sangat serius. Suga mendominasi percakapan mereka dan menurut pengamatanku, Suga cukup serius. Tapi aku tidak tahu mereka membicarakan apa.

"Dia bilang padaku kalau selama ini dia mencariku," jawab Wendy ragu-ragu. "Dia bilang kalau dia sangat suka dengan suaraku, mungkin tindakannya tadi juga spontan."

Aku setuju kalau laki-laki manapun pasti akan jatuh hati pada suara Wendy. Ditambah kepribadiannya yang sedikit misterius tapi hangat, Wendy bisa membuat siapa saja menjadi lemah.

"Dia produser, 'kan? Apa dia ingin memberimu kontrak?" tanyaku kemudian Wendy menggeleng.

"Nggak sama sekali. Dia hanya memberitahuku kalau dia ingin bekerja sama denganku," ungkap Wendy masih ragu-ragu. "Ah, dia memang aneh."

Irene mengangguk setuju. "Saat kami berkenalan, dia terlihat malas dan nggak mau tahu. Kata fotografer tadi juga, dia sepertinya nggak suka dengan Café Hometown."

Entah mengapa pembicaraan tentang laki-laki bernama Suga ini semakin menarik. Masing-masing dari kami memilii kepingan puzzle mengenai produser yang disebut jenius itu.

"Dia pernah datang ke Café Hometown dan menyampaikan pesanmu," sahutku sambil menatap Wendy.

Wendy menghela napas. "Apa mungkin karena aku sudah menyuruhnya ke sini, dia jadi malas datang ke sini lagi, ya? Aku nggak ngerti sama sekali."

Kalau itu memang benar, berarti aku juga salah. Mungkin aku kurang ramah pada Suga saat laki-laki itu sengaja datang untuk berbicara padaku. Tipe orang memang ada macam-macam dan tidak semua dari mereka bisa kupahami.

"Yang membuatku heran, bagaimana kalian bisa bertemu?" rasa penasaran Irene rupanya belum habis. "Kalian bukan teman dekat, 'kan?"

"Bukan," jawab Wendy kali ini terlihat yakin. "Selalu ada suatu hal yang membuat kami bertemu."

Aku dan Irene saling bertukar pandang. Samar-samar kami tahu bahwa laki-laki bernama Suga ini, pasti terlibat dengan masalah Wendy. Ya, masalah yang membuat Wendy sampai tidak bekerja di Café Hometown selama berhari-hari.

"Wendy, kamu bisa cerita padaku dan Mark," lanjut Irene begitu lembut. "Kamu sedang menyimpan rahasia dari kami, ya?"

Dan seperti dugaanku, Wendy mengangguk. Hatiku merasa sakit karena Wendy masih enggan untuk bercerita. Sebesar apa masalah Wendy hingga ia tidak mau cerita padaku dan Irene?

"Kamu takut aku kecewa lagi?" tanyaku tepat sasaran, karena Wendy langsung tersentak. "Aku lebih kecewa kalau aku tahu dari orang lain, bukan dari kamu."

Tatapan Irene berubah tajam padaku. Dia seakan memperingatiku untuk tidak berbicara lagi. Sekarang aku sadar bahwa Irene sangat memanjakan Wendy. Dan sikap Irene yang seperti itu membuat Irene selalu menahan emosi saat bersama Wendy.

"Kalau kuceritakan, kalian pasti akan marah padaku," ujar Wendy pelan, nyaris seperti bisikan.

Ini tidak bisa dibiarkan lagi. Aku harus tegas pada Wendy. "Cerita padaku dan Irene, atau kamu nggak kuizinkan pulang."

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang