[ 9 BULAN KEMUDIAN ; IRENE ]
Aku tidak paham dengan Mark, laki-laki yang suasana hatinya bisa berubah dalam hitungan detik.
Sejak masuk ke dalam mobil dan menuju Olympic Hall, tatapan Mark yang tertuju pada jalanan Seoul terasa kosong. Aku yang sudah terlanjur takut hanya bisa duduk diam.
Dalam suatu hubungan, pertengkaran memang bukan hal yang bisa kita hindari. Tentu saja aku dan Mark pernah berselisih. Beruntung, kami selalu bisa memecahkan perselisihan kami dengan kepala dingin.
Jika kami sedang berselisih, hal yang kupikirkan adalah: apa salahku dan apa yang Mark inginkan.
Oke, aku bukanlah Irene yang dulu. Aku harus berani bertanya. Lagipula, aku punya hak untuk khawatir lebih dari siapapun, karena sekarang statusku adalah pacar Mark.
"Kamu kenapa?" tanyaku memandang Mark begitu dalam. "Kamu lagi kesal?"
Mobil yang dikemudikan Mark berhenti karena lampu berubah merah. Dan sambil menatapku, Mark menjawab, "Hah? Nggak, aku nggak kesal sama sekali. Aku senang karena naskah dramaku menang."
"Benar?" tanyaku memastikan. Karena sikap Mark sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang senang. Dia lebih dari sekedar kesal. Dia sedang marah.
Mark menghela napas dengan kepala tertunduk, "Mungkin benar. Entahlah, aku bingung."
Salah satu kesepakatan kami untuk membuat hubungan kami tetap tentram adalah untuk jujur satu sama lain. Mark pernah berkata padaku bahwa sangat sulit bagi dirinya untuk membangun kepercayaan pada orang lain, apalagi semenjak ditinggal oleh Wendy.
Ah, apa jangan-jangan... Mark marah karena aku mengajaknya nonton Konser Natal? Ekspresi wajahnya juga berubah saat aku memberitahunya bahwa Wendy juga menjadi salah satu penyanyi yang tampil di Konser Natal.
"Jujurlah sedikit lagi," kataku sambil tersenyum. "Karena Wendy, 'kan?"
Lampu merah terakhir kami sebelum Olympic Hall akhirnya berubah hijau. Mark menginjak gas dan kami sampai pada kemacetan karena volume kendaraan yang begitu banyak, sama-sama sedang menuju tempat Konser Natal diadakan.
"Irene, maaf. Ini bukan berarti aku nggak sayang kamu, tapi aku masih memikirkan Wendy," jelas Mark dengan suara tenornya. Kemudian Mark menggelengkan kepala dan melanjutkan, "Lupakan saja apa yang baru kukatakan."
Jarang sekali seorang Mark Tuan menunjukkan sisi lemahnya pada orang lain tapi aku menjadi perempuan yang beruntung untuk membuatnya bangkit saat rapuh.
Aku tidak menyesal menerima permintaan Wendy sembilan bulan yang lalu. Sahabatku itu meminta agar aku membahagiakan Mark. Dan saat aku berusaha membahagiakan Mark, aku sadar bahwa aku juga ikut bahagia.
"Nggak apa-apa," sahutku menenangkan. "Mana mungkin aku lupa kalau kamu dan Wendy dulu saling suka. Juga alasanmu berjuang sejauh ini, itu semua karena Wendy, 'kan?"
Tahap terakhir sekaligus tahap tersulit dalam membahagiakan Mark adalah saat ini, di mana Mark baru saja memenangkan sayembara dan naskah buatannya sudah pasti akan dijadikan drama. Lalu Mark bisa meminta Wendy agar mengisi soundtrack untuk drama itu.
Aku sangat yakin bahwa Wendy akan menerima permintaan itu. Tapi yang menjadi masalahnya adalah, apakah Mark sanggup meminta hal itu pada Wendy?Mark adalah laki-laki yang penuh dengan luka di hati. Tugasku sebagai pacar adalah menyembuhkan luka itu satu per satu dengan meringankan bebannya.
Tiba-tiba Mark menggenggam tanganku. "Irene, apa saat ini aku sudah sejajar dengan Wendy? Apa aku sudah menjadi asisen penulis naskah yang pantas meminjam suara Wendy?"
Mendengar kata 'meminjam' membuat hatiku tersayat. Mark terdengar sangat putus asa. Tidak, lebih tepatnya adalah tidak sanggup. Mark kehilangan rasa percaya dirinya.
"Dia pasti lupa kalau aku masih ada," lanjut Mark sambil meremas tanganku. "Dia orang di bawah sorot cahaya. Sedangkan aku, aku selalu ada di balik cahaya."
Aku menggelengkan kepala. "Bukan, Mark. Justru kamu yang memancarkan cahaya pada Wendy. Dia juga berjuang keras demi impian kalian."
Padahal tinggal sedikit lagi dan impian mereka sudah di depan mata. Aku tidak mau Mark mundur begitu saja. Kapan lagi kesempatan seperti ini akan datang? Mark harus meminta Wendy untuk mengisi soundtrack drama-nya.
Apa tidak ada hal yang bisa kulakukan? Aku harus berpikir. Bagaimana cara meminta Wendy mengisi soundtrack untuk drama tanpa bertatap muka dengan Mark? Perantara apa yang kami miliki?
Perantara. Manajer. Agensi. Direktur. Suga.
"Itu dia!" seruku spontan membuat Mark menjauhkan tangannya dari tanganku. "Bagaimana kalau begitu sampai di Olympic Hall, kita pergi ke backstage?"
Mark menatapku heran. "Kenapa kita harus ke backstage?"
Dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dari tas. "Kalau kamu nggak yakin harus minta Wendy untuk mengisi soundtrack, kamu harus mendengar pendapat dari orang yang selalu bersama Wendy!"
Jemariku dengan cepat menelusuri kontak dan mencari nomor telepon Suga. Kalau tidak salah, aku pernah bertukar nomor telepon dengannya.
"Orang yang selalu bersama Wendy?" gumam Mark, kali ini nada bicaranya sedikit tinggi. "Maksud kamu, Suga? Bukannya dia sudah—"
"Masalah itu nggak penting," ujarku menyela kalimat Mark. "Di antara semua orang yang kukenal, dia adalah orang yang paling mengerti tentang karir Wendy. Dia juga orang yang selalu menyeleksi pekerjaan yang diambil Wendy."
Ada! Aku masih menyimpan nomor telepon Suga. Dia pasti juga datang ke Konser Natal.
"Mark, apa kamu punya softcopy naskah Wings Named You?" tanyaku serius.
"Jangankan softcopy, hardcopy-nya saja ada di bangku belakang," jawab Mark sambil menunjuk tumpukan ketas yang ada di balik kursiku. Sempurna!
"Baguslah. Kamu bawa itu ke Suga, biarkan dia menilai. Kamu tahu, 'kan, Suga orang yang berpengalaman? Dia pasti tahu mana karya yang berkualitas dan mana karya yang biasa saja," kataku penuh harap.
Mark menatapku penuh keraguan. "Tapi Irene—"
"Kumohon, percayalah padaku. Aku akan telepon Suga dan memintanya untuk bertemu dengan kita di backstage. Aku janji kamu nggak akan bertemu Wendy sama sekali," ucapku tegas.
Pandangan mataku sepertinya berhasil meluluhkan Mark, "Baiklah. Aku akan coba ikut kata-katamu."
Satu detik waktu yang kubutuhkan untuk memilih opsi telepon dan menyambungkan panggilan dengan Suga sang produser jenius. Terakhir kali kami bercakap lewat telepon adalah saat Suga meminta saran padaku.
Ya, aku masih tidak menyangka Suga ternyata menyukai Wendy. Sejak tahu tentang itu, aku sudah tidak marah lagi pada Suga. Karena aku tahu bagaimana rasanya ada di posisi Suga, di mana kita memiliki keinginan yang kuat untuk membahagiakan orang yang kita suka.
"Halo?"
"Ah, Suga! Ini aku, Irene," kataku sambil tersenyum. Syukurlah Suga mengangkat panggilan dariku. "Suga, apa kamu bisa—"
"Irene, tolong aku..."
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...