37

822 210 24
                                    

[ SUGA ]

"Ya, bagus. Kita akhiri sampai sini,"

Aku melepas headphone dari kepalaku dan meletakannya di meja. Di studio yang berada persis di samping kamar apartemenku, aku dan Namjoon baru saja menyelesaikan proses rekaman lagu baru kami.

Penyanyi yang kami gaet adalah Jeon Jungkook, laki-laki muda dengan potensi besar yang berasal dari Busan.

"Terima kasih atas kerja kerasmu," ujar Namjoon begitu ramah pada Jungkook.

"Terima kasih atas kerja keras kalian," balas Jungkook pada aku dan Namjoon.

"Terima kasih atas kerja keras kalian," kataku sambil tersenyum sedikit. "Setelah ini tinggal jacket photoshoot. Dan kami bisa segera merilis lagu baru."

Namjoon mengangguk setuju. "Targetku, seminggu lagi lagu ini sudah bisa masuk music chart."

Senang rasanya bisa kembali bekerja. Setelah Namjoon pulang dari Rumah Sakit, kami memang bekerja keras untuk lagu pertama kami setelah keluar dari Antena Records.

Orang juga pasti sudah menunggu karya terbaruku, 'kan?

"Kalau begitu saya pulang dulu," ujar Jungkook kemudian menundukkan kepala.

"Aku antar, ya," kata Namjoon menawarkan diri.

Maka lima menit kemudian, tinggallah aku sendirian di studio. Aku bukan laki-laki sebaik Namjoon yang bisa dengan santainya bersikap terbuka pada orang lain.

Harus kuakui, sebenarnya aku kurang percaya diri. Aku berlagak sok hebat padahal aku kurang percaya diri.

Kuputuskan untuk merapikan benda-benda di studio ke tempat asalnya sebelum kembali ke kamar apartemenku. Aku sangat lapar, aku sudah bekerja seharian.

Dan aku juga belum merebahkan diri di kasur sejak tadi pagi aku terbangun di mobil. Punggungku butuh Surga bernama Pulau Kapuk.

Jadi yang kulakukan selanjutnya adalah membuat ramyeon instan dan memakannya di kasurku. Iya, aku tahu aku menjijikkan. Tapi siapa peduli?

Tunggu dulu. Jangan-jangan ini alasan mengapa aku susah sekali dapat pacar.

Karena aku kurang pandai merawat diri.

Tepat setelah aku menghabiskan ramyeon instan, sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Ada pesan singkat dari Wendy.

Selamat malam, Suga.
Terima kasih sudah menyampaikan pesan untuk manajerku.

Aku menghela napas. Mengapa setiap kali aku berinteraksi dengan Wendy, perempuan itu selalu berterima kasih? Apa dia sungkan padaku?

Kubalas saja pesan Wendy dengan kalimat menantang.

Memang kata siapa aku sudah menemui manajermu?
Jangan sok meramal, aku sudah bekerja seharian.

Iya, aku tahu, aku jahat. Aku kurang pandai merawat diri dan membuat orang lain menyukaiku.

Balasan dari Wendy masuk lima menit kemudian.

Manajerku sudah membanjiri pesan dan meneleponku berkali-kali.
Itu berarti kamu sudah bertemu dengan manajerku.
Apa aku salah?

Entah aku yang bodoh atau Wendy yang pintar, tapi harus kuakui, percakapan ini menjadi semakin menyenangkan. Aku meletakkan kotak ramyun, merebahkan diri di kasur, dan membalas pesan Wendy.

Kamu nggak salah, tapi aku kesal padamu.

Kali ini jawaban dari Wendy masuk dalam hitungan detik.

Aku nggak berbuat apapun, kenapa kamu jadi kesal padaku?
Dasar aneh.
Kembalilah fokus pada pekerjaanmu.

Oh, jadi sekarang Wendy sudah berani memerintahku? Dan dia baru saja menulis bahwa aku ini aneh? Oke, tunggu saja balasan dariku, Wendy.

Aku sudah selesai bekerja.
Sekarang aku sedang istirahat.
Kamu juga, jangan lama-lama istirahat dan cepatlah kembali kerja.

Saat mengirim pesan, aku jadi ingat perkataan manajer Café Hometown. Kata manajer yang bernama Mark itu, Wendy bekerja sebagai penyanyi.

Aku juga ingin sekali cepat kembali kerja.
Tapi sampai kondisi Mama membaik, aku akan tetap di Rumah Sakit.

Dengan segera aku mengalihkan pembicaraan pada pekerjaan Wendy. Aku benar-benar penasaran, aku perlu kepastian.

Kata manajermu, kamu bekerja sebagai penyanyi.
Apa benar?
Kenapa kamu tidak pernah bilang padaku?

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit berlalu sampai akhirnya Wendy membalas pesanku. Apa yang membuatnya berpikir sangat lama?

Iya, aku menyanyi di sana.
Aku senang dengan pekerjaanku, tapi aku juga ingin berhenti dan mencoba hal baru.

Tunggu dulu... Wendy bilang mau berhenti? Padahal pekerjaan itu adalah satu-satunya alasan Wendy bisa menghirup udara di luar Rumah Sakit.

Aku tahu, kondisi mama Wendy cukup buruk. Kanker adalah penyakit mematikan. Butuh pengobatan penuh ekstra dan resiko untuk sembuh dari penyakit itu. Dan biaya yang diperlukan tidak sedikit.

Jangan-jangan Wendy bekerja demi itu? Untuk kesembuhan Sang Mama? Dan Wendy ingin berhenti karena ingin mencoba hal baru, tapi itu sama saja dengan Wendy tidak mendapat penghasilan lagi.

Mungkin diriku bisa dijadikan contoh. Dulu saat masih di Antena Records, aku ingin berhenti dan mencoba mendirikan perusahaan rekaman sendiri. Meski aku senang dengan pekerjaanku, aku tetap berhenti.

Dan sekarang, aku tidak berpenghasilan. Mungkin setelah ini aku akan mendapat uang kembali, tapi kesuksesan seperti dulu tidak bisa kudapatkan kembali secara instan, 'kan?

Aku mengerti perasaanmu, Wendy.
Tapi jika kamu ingin mencoba hal baru, coba saja.
Dan berjanjilah untuk kerja keras.
Aku juga sedang bekerja keras sekarang untuk memperoleh uang lagi.

Seoul adalah kota dengan sejuta impian. Banyak orang dari luar Seoul, datang ke kota ini untuk membangun impian mereka. Aku sendiri datang dari Daegu karena aku tahu, menjadi produser di Seoul adalah suatu kebanggaan.

Tapi tidak jarang orang yang datang ke Seoul akhirnya menyerah dan kembali ke tempa asal mereka. Seoul memang kota dengan sejuta impian sekaligus kota yang sedikit kejam.

Aku hampir saja tertidur jika balasan Wendy tidak datang tepat sebelum aku menutup mata.

Terima kasih, Suga.
Aku jadi ingin bertemu denganmu dan berbicara tentang banyak hal.

Ini benar-benar mengejutkan. Wendy sama sekali tidak takut padaku yang sudah bersikap ketus padanya. Dia perempuan pertama yang memperlakukanku dengan wajar.

Lalu dengan wajar juga aku membalas pesan Wendy.

Kapan kamu ada waktu?
Aku bisa ke Rumah Sakit kapanpun.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang