58

775 176 27
                                    

[ IRENE ]

Untuk pertama kali setelah waktu yang lama, aku menangis sangat lama. Dan alasanku menangis adalah karena aku tidak tahu, apa yang kulakukan itu benar atau salah.

Aku pulang ke apartemen menggunakan mobil yang disetir oleh Mark. Sepanjang perjalanan, aku menahan tangisku. Tapi hatiku sakit saat mengingat kembali ekspresi Wendy yang memohon maaf padaku.

Kata Mark, aku tidak boleh lunak di depan Wendy dan memanjakan sahabatku itu. Memang benar aku selalu membiarkan Wendy berbuat sesuka hatinya. Aku juga sudah lama mengenal Wendy hingga aku tahu betul apa yang disukai oleh sahabatku.

Bingung, itulah yang kurasakan sekarang. Apa aku orang yang egois jika aku ingin tahu semua rahasia Wendy? Tapi apa aku orang yang jahat jika aku terus memanjakan Wendy?

"Sudah sampai," kata Mark setelah mematikan mesin mobil tepat di parkir apartemenku. "Kamu mau kuantar ke atas?"

Bibirku terkunci rapat, aku sama sekali tidak memiliki niat bicara. Saat suasana hatiku buruk, perkataanku bisa saja terdengar menyakitkan.

"Ah, dasar, ini sudah malam, Irene," ujar Mark kemudian melepas sabuk pengaman yang ia pakai. Kemudian ia mendekatiku, tangannya bergerak untuk melepas sabuk pengamanku.

Di saat seperti ini, jantungku malah berdetak tidak karuan. Padahal aku harus menahan perasaan ini. Aku tidak boleh jatuh cinta pada Mark, laki-laki yang bisa membahagiakan Wendy suatu hari.

"Sudah selesai," ucap Mark sambil tersenyum dan mengusap rambutku. "Kamu harus segera ke atas dan tidur, Irene. Bisa gawat kalau model sepertimu kurang tidur."

Mengapa Mark bisa begitu santai? Padahal tadi dia ada bersamaku saat Wendy mengakui semua rahasianya. Rahasia yang ia tutup begitu rapat dariku dan tidak mengandalkanku sebagai sahabatnya.

Yang sudah kulakukan untuk Wendy adalah menyuruhnya mengikuti banyak audisi dan pergi ke banyak perusahaan rekaman. Dan yang aku tidak tahu adalah setiap kali Wendy gagal, dia akan semakin depresi.

Aku benar-benar egois dan jahat.

"Irene, jangan paksakan semua kesalahan pada dirimu," Mark berhenti mengusap rambutku. "Ini bukan salahmu."

Mark tahu aku sedang menyalahkan diriku sendiri. Apa itu terlihat begitu jelas di wajahku?

"Kenapa kamu bisa tetap tersenyum?" tanyaku hati-hati pada Mark. "Kamu juga pasti merasa sakit hati dan ingin menyalahkan diri sendiri, 'kan?"

Dengan cepat Mark menggelengkan kepala, diikuti helaan napas seakan dia sudah tahu bahwa waktu tidak dapat diulang kembali.

"Aku hanya berusaha mengalah. Setelah dengar cerita Wendy tadi, aku jadi mengerti kenapa dia nggak mau cerita ke kamu," jawab Mark sambil menatapku. "Kamu begitu memikirkan dia sampai lupa pada dirimu sendiri. Betul, 'kan?"

Hatiku terbaca secara sempurna oleh Mark. Sampai kapan kamu akan membuatku kagum, Mark? Aku tidak mau jatuh lebih dalam padamu.

"Aku sayang pada Wendy. Sebagai laki-laki, aku ingin mengalah. Aku ingin membiarkan dia tetap bersikap manja," lanjut Mark diikuti tawa kecil yang keluar dari mulutnya. "Dan aku ingin masalah kalian berdua cepat selesai."

Perkataan Mark berhasil membuat hatiku yang gundah menjadi lebih tenang. Aku meyakinkan diriku berkali-kali bahwa ini bukan salahku. Ini adalah pilihan yang diambil oleh Wendy.

"Aku tahu kamu kecewa karena Wendy menyimpan rahasia sebesar ini padamu," ujar Mark sambil membuka kaca mobil di sebelahnya. "Tapi sekarang semua sudah jelas, 'kan? Persahabatan kalian nggak perlu berakhir hanya karena rahasia Wendy ketahuan olehmu."

Benar apa yang dikatakan oleh Mark. Hatiku mulai terasa sejuk, entah karena angin yang berhembus mengenai leherku atau karena perkataan Mark.

"Kamu nggak mau keluar dari mobilku?" tanya Mark sambil tersenyum usil. "Aku nggak mau besok ada berita besar kalau model Bae Irene pergi berkencan malam-malam dengan Pangeran Mark Tuan."

Aku terbahak. Apa katanya tadi? Pangeran?

"Mimpi saja jadi Pangeran Monyet," sahutku tanpa berpikir panjang. Mata Mark membulat seakan ia tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.

"Kamu bilang aku 'Pangeran Monyet'?" Mark menutup kaca mobil. "Aku boleh teriak di depan wajah kamu, nggak?"

"Tentu saja nggak boleh," aku melipat tangan di depan dada. "Aku ini tamu di mobilmu. Tamu harus diperlakukan dengan baik."

Mark terlihat kesal tapi dia tetap tertawa. "Kamu pikir mobilku ini Café Hometown? Di mobil itu yang ada, penumpang sama supir—"

"Oh, jadi kamu supirku?" tanyaku dengan suara melengking tinggi.

"Atau pemilik mobil, hei, aku belum selesai bicara," ujar Mark sambil menutup mata dengan kedua tangan.

Hmm, harus kusebut apa situasi seperti ini? Menyenangkan? Padahal beberapa menit yang lalu aku begitu terpuruk tapi sekarang aku bisa kembali ceria. Semua ini berkat Mark.

"Kamu harus ke atas sekarang dan lakukan sesuatu untuk hilangkan bengkak di bawah matamu," kata Mark sambil menunjuk wajahku. "Besok Wendy akan nyanyi di Café Hometown, 'kan? Tunjukkan wajahmu yang ceria, agar dia nggak merasa bersalah karena sudah menyimpan rahasia padamu."

Menyimpan rahasia? Tunggu. Kalau kupikir, aku juga menyimpan rahasia dari Wendy. Rahasia yang belum pernah kukatakan pada siapapun. Rahasia bahwa aku mencintai Mark.

Bagaimana ini? Lagi-lagi aku bingung. Kalau Wendy tahu rahasiaku ini setelah jadian dengan Mark, dia pasti akan kecewa padaku juga.

"Irene? Kamu dengar apa yang barusan aku bilang, 'kan?" tanya Mark menyadarkanku dari lamunan sesaat.

Aku tidak ingin Wendy kecewa padaku. Aku tidak mau Wendy mengetahuinya dari orang lain seperti manajer atau editorku. Aku harus melakukan sesuatu.

"Mark, tolong dengarkan baik-baik apa yang akan kukatakan," ujarku sambil menatap kedua mata Mark. Aku tidak tahu dapat keberanian seperti ini darimana.

"Oke, silakan bicara, Irene," balas Mark begitu siap.

Tanganku bergerak untuk meraih tangan Mark. Aku benar-benar takut, seumur hidup baru kali ini aku menggenggam tangan laki-laki lain selain Ayah. Ini tangan laki-laki yang aku cintai. Ini tangan laki-laki yang sebentar lagi akan jadi milik sahabatku.

Lalu pada pemilik tangan ini aku berkata, "Aku suka kamu, Mark."

Raut wajah Mark berubah seketika. Dia mengedipkan mata berkali-kali. "Tadi kamu bilang apa, Irene? Kamu—"

"Iya, aku suka kamu, Mark. Lebih tepatnya, aku sayang kamu sebagai laki-laki," kataku dengan suara keras.

Kumohon, aku harus bisa menyelesaikan ini. Aku tidak boleh kabur. Ini demi Wendy. Ini demi persahabatanku dengan Wendy.

"Ini rahasia yang kusimpan dari Wendy," ucapku memberitahu Mark. "Sekarang, kamu harus tolak aku, agar aku bisa minta maaf pada Wendy tanpa merasa bersalah."








👠👠👠

Peek-a-boo! After the Concert sudah kembali, terima kasih sudah setia menunggu, hehe. Aku sayang kalian 🖤

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang