[ 9 BULAN KEMUDIAN ; MARK ]
Manusia akan berubah seiring pencarian jati dirinya.
Setahun lalu, aku adalah bocah keturunan Asia di Los Angeles yang bermimpi untuk menjadi aktor Hollywood. Saat ini aku adalah asisten penulis naskah sekaligus manajer Café Hometown.
Mengapa pekerjaan sebagai manajer aku sebutkan di akhir? Karena aku sudah benar-benar jatuh cinta dengan profesi asisten penulis naskah. Uang yang kuterima banyak dan aku sering bertemu dengan orang-orang terkenal.
Tapi resikonya adalah kepalaku yang panas dan seakan mau meledak setiap kali mendapat perintah revisi.
Baru saja aku selesai mandi untuk menghilangkan rasa lelah yang menjalar di sekujur tubuhku. Pilihanku malam ini adalah kaos putih berlapis cardigan hitam untuk atasan dan celana kain hitam yang berpotongan pensil.
Pintu kamarku diketuk, huh, aku tepat waktu!
"Mark, Irene sudah datang," ujar Jaebum memberitahuku. "Apa aku perlu mengantar Creamy Daegu buatanmu pada Irene?"
Aku tersenyum lalu menjawab, "Biar aku saja yang antar."
Sebelum keluar, aku menatap pantulan diriku di cermin. Perhatianku terpusat pada rambut cokelatku yang menurutku masih belum rapi. Aku mengambil sisir dari laci dan membentuk rambutku sebagus mungkin. Saat tanganku kembali masuk ke dalam laci untuk meletakkan sisir, aku terpaku pada kotak kecil bermerek Tiffany & Co.
"Benar juga. Aku masih menyimpan ini," gumamku sambil meraih kotak kecil tersebut dan melihat apa yang ada di dalamnya. Sepasang cincin.
Ada sekitar dua bulan aku menyimpan cincin ini di laciku. Setelah aku mengumpulkan naskah untuk sayembara, aku dan Irene pergi bersama ke Los Angeles untuk liburan. Di sana aku memperkenalkan Irene pada keluargaku.
Ya, mereka cukup terkejut karena aku membawa pacar ke rumah. Kedua orang tuaku sangat menyukai kepribadian Irene. Dan di hari terakhirku liburan di Los Angeles, Ayah memberiku sepasang cincin ini dan memintaku menikah dengan Irene secepat mungkin.
Aku masih ingat kata-kata Ayah waktu itu yang kira-kira berbunyi seperti ini, "Terserah kamu, kapan mau ganti uang cincin ini. Yang penting, kamu lamar dulu Irene."
Gila, gila, gila. Bagaimana mungkin aku melamar Irene saat usia pacaran kami baru menginjak enam bulan? Aku bisa membayangkan Irene pingsan begitu menerima cincin ini dariku. Aku butuh waktu yang tepat.
Tunggu. Bukankah sekarang waktu yang tepat? Karena aku sedang merasa senang.
Ya, hari ini aku mendengar pengumuman hasil sayembara SBS TV dan karyaku menang! Sekali lagi, karyaku menang dan akan dijadikan drama di awal tahun!
Rencanaku setelah ini adalah menyambaikan berita gembira ini pada Irene dan para pegawai Café Hometown, kemudian membelikan barang apapun yang mereka minta. Karena mereka semua sudah membantuku mengerjakan naskah.
Terutama Irene. Dia selalu menyempatkan waktu di tengah kesibukannya untuk mendengar keluh kesahku. Dia memberiku banyak sekali masukan dan dia juga yang menentukan judul dari naskah yang kubuat. Wings Named You.
Kuputuskan untuk mengganti pakaianku dengan suit yang lumayan formal dan membawa kotak cincin ini bersamaku. Akan kulihat lagi keadaan nanti. Jika suasananya mendukung, aku akan melamar Irene.
Oh, kalian jangan meremehkanku. Memang aku tidak menyiapkan bunga atau kue untuk melamar Irene, tapi seorang asisten penulis naskah sepertiku bisa menyusun kalimat lamaran yang indah dalam waktu kurang dari dua puluh detik.
Yes, I'm totally professional.
Dengan langkah cepat aku turun menggunakan tangga. Aku mengambil Creamy Daegu yang kubat sebelum mandi tadi di dapur café. Kemudian aku menghampiri Irene yang sudah duduk menungguku.
"Selamat malam," sapaku dari belakang Irene, membuat perempuan itu menoleh ke belakang untuk melihatku. "Kamu cantik banget."
Irene tertawa. "Duduk dulu, dong. Puji aku bisa nanti, 'kan?"
Sesuai instruksi Irene, aku mengambil tempat di hadapan pacarku ini dan meletakkan segelas minuman favoritnya. Hmm, kalau tidak salah, Irene baru kembali dari acara fansign. Dia pasti sudah senyum selama seharian.
"Seperti biasa, enak," ujar Irene setelah meneguk Creamy Daegu hingga tersisa setengah. "Tapi, kok, sudah agak dingin, ya?"
Aku mengangguk. "Wajar saja, aku membuat ini sebelum aku mandi di kamar."
"Oh, iya. Jadi sekarang kita sama-sama sudah mandi, ya?" tanya Irene sambil tersenyum.
"Apa-apaan sih, pertanyaanmu itu?" tanyaku kembali. "Apa nggak ada pertanyaan lain untukku, sayang?"
Percayakah kalian kalau orang yang bekerja sebagai model bisa menjadi sedikit pelupa? Irene adalah contohnya. Aku sering mendapat laporan dari manajer Irene kalau pacarku itu sering lupa menghapus riasan wajahnya.
"Bagaimana dengan hasil sayembara?" tanya Irene sambil menatapku khawatir.
Aku tersenyum tipis. "Aku berhasil. Naskahku yang menang."
Irene menutup mulutnya, tidak percaya. "Serius? Kamu beneran menang? Wings Named You benar-benar menang?"
Kugerakkan kepala untuk mengangguk berkali-kali. "Iya, Irene. Naskahku benar-benar menang dan dramanya akan tayang tahun depan."
Dalam hitungan detik, tepuk tangan meriah bergema di setiap sudut Café Hometown. Teman-temanku mulai bersorak, memberiku ucapan selamat atas kerja kerasku yang cukup panjang.
Sedangkan Irene, ia berusaha menahan air matanya. Matanya sudah berkaca-kaca saat berkata, "Syukurlah... Syukurlah kamu menang, aku benar-benar senang..."
Seperti inilah Irene. Di saat aku bersedih, dia bisa menjadi lebih sedih dariku. Juga di saat aku senang, dia bisa menjadi lebih senang dariku.
"Jangan nangis, nanti riasan kamu luntur," sahutku sambil tertawa kecil diikuti anggukan Irene.
Aku tidak bisa menjelaskan pada kalian bagaimana aku bisa jatuh cinta pada Irene dan memilih Irene untuk menjadi pacarku. Itu akan menjadi cerita yang sangat panjang. Tapi untuk saat ini, aku tahu betul bahwa aku telah menemukan pendamping hidupku. Dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk lamaran.
Kumasukkan tanganku ke dalam jas untuk mencari kotak cincin. Kepalaku penuh dengan kata-kata lamaran yang hendak kuucapkan, hingga Irene menyodorkanku sebuah tiket.
"Mark, ayo kita pergi nonton Konser Natal malam ini di Olympic Hall!" ujar Irene terdengar begitu ceria. "Wendy juga ikut tampil!"
Duniaku seakan runtuh saat nama itu kembali muncul di pikiranku setelah sekian lama. Aku kembali teringat akan kenanganku bersama perempuan yang sekarang sudah menjadi penyanyi itu. Sial, aku sudah tidak bisa berpikir jernih! Suasana hatiku memburuk seketika.
Sepertinya aku tidak bisa melamar Irene sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...