8

1.2K 282 6
                                    

[ MARK ]

Aku paling lemah dengan air mata perempuan. Tidak peduli seorang nenek, ibu, remaja perempuan, atau bocah gadis berusia empat tahun, aku lemah terhadap air mata mereka.

Karena itu saat aku melihat mata Irene berkaca-kaca, aku mulai panik. Aku menarik lengan baju Jaebum dan menunjuk Irene yang masih shock setelah melihat isi dompetnya.

"Irene, ada apa?" tanya Jaebum penasaran.

Perempuan yang menjadi pelanggan kami itu mulai terisak. Irene sangat cantik dan aku tidak siap melihat air matanya menetes. Seseorang tolong hibur Irene.

"Tiket konserku tidak ada," jawab Irene pelan.

"Hilang? Mungkin jatuh di sekitar sini?" tanya Jaebum tetap tenang.

Irene menggeleng. "Aku tidak ingat. Apa tertinggal di rumah? Atau jangan-jangan sudah terbang terbawa angin? Jaebum, aku harus bagaimana?"

Malang sekali nasibmu, Nona Muda. Aku mengerti perasaan kecewa yang timbul karena kebodohan sendiri. Gerbang untuk masuk ke dalam Olympic Stadion sudah terbuka dan Jaebum masih berusaha membantu Irene mengingat di mana tiket miliknya terakhir terlihat.

Entah bagaimana aku mengerti apa yang dibicarakan Jaebum dan Irene. Sayang sekali kemampuan Bahasa Koreaku masih sangat terbatas dan aku tidak tahu bagaimana menyampaikan saranku pada Irene.

"Ada apa?"

Tiba-tiba, perempuan lain yang mirip dengan Irene—sama pendek dan sama cantik—datang ke hadapanku. Oh, apa perempuan ini yang bernama Wendy? Karena tadi Irene membayar minuman milik Wendy juga.

Irene berbicara sambil berusaha tidak menangis, "Wendy, aku tiket konserku hilang. Aku lupa aku taruh di mana. Jangan-jangan ketinggalan di rumah? Bagaimana sekarang? Kau terpaksa nonton konser sendirian."

Wendy yang mendengar semua itu tersenyum. "Irene, kamu lupa? Tiketmu kan di aku?"

Menarik. Perempuan bernama Wendy ini menarik. Aku yang sudah lama berlatih akting sebenarnya tahu bahwa Wendy sedang berbohong. Tiket Irene tidak ada padanya. Wendy berkata seperti itu agar Irene berhenti mencemaskan dirinya.

"Sejak kapan ada di kamu?" tanya Irene masih tidak percaya sedangkan aku hanya bisa menahan senyum. Bagaimana bisa Irene tertipu?

Wendy mengeluarkan dompetnya, masih sambil tersenyum. "Kamu menitipkannya padaku saat di mobil. Nih, tiketmu."

Dengan gembira Irene menerima tiket pemberian Wendy. "Kalau begitu ayo kita masuk ke dalam! Jaebum dan yang lain juga ikut ke dalam, kan?"

Jaebum mengangguk. "Iya. Aku panggil yang lain dulu, ya. Nanti kita masuk sama-sama."

"Aku mau ke toilet dulu," sambung Wendy diikuti anggukan Irene.

"Ayo Mark," ajak Jaebum.

Setelah itu aku mengikuti Jaebum dan membantu yang lain beres-beres stand café sebelum kami semua masuk ke dalam Olympic Stadion untuk menonton konser. Irene juga ikut membantu sedikit seperti merapikan kertas menu dan mencuci peralatan yang terpakai.

Hingga kami semua selesai beres-beres, Wendy belum menampakkan batang hidungnya. Mungkin ini hanya perasaanku, tapi Wendy pasti menghindari Irene. Jangan bilang perempuan itu mau bersembunyi di toilet hingga konser berakhir.

"Wendy di mana, ya?" tanya Irene terdengar cemas. "Kenapa dia lama sekali di toilet?"

Mendengar itu, dengan gugup aku membalas, "Aku juga mau ke toilet. Mungkin nanti aku ketemu Wendy."

Irene menampakkan senyumnya yang manis. "Kalau begitu aku titip Wendy, ya. Aku dan yang lain masuk duluan boleh, kan? Nanti kami sisakan tempat duduk untuk kalian berdua."

Akhirnya atas saran Irene, kami pecah dalam dua tim. Jaebum, Jackson, Jinyoung, Youngjae, Bambam, serta Yugyeom akan masuk ke arena konser terlebih dahulu. Sedangkan aku memutuskan untuk pergi ke toilet dan mencari Wendy.

Dalam perjalanan menuju toilet, sepatuku tidak sengaja menginjak secarik kertas. Aku membungkuk untuk memungkut kertas tersebut dan bingo! Tiket konser! Ini pasti tiket konser milik Irene.

Aku melangkahkan kaki terburu-buru menuju toilet. Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya aku menemukan Wendy, berdiri di luar toilet, sambil memandang langit malam. Tangannya terlipat sebagai bentuk perlindungan dari udara yang dingin.

"Excuse me, miss," aku memanggil Wendy dan perempuan itu menoleh. "Why are you still here?"

Wendy tersenyum tipis. "I can't get in. I don't have any ticket. I will listen the concert from here."

Di luar dugaanku, Bahasa Inggris Wendy sangat bagus. Logatnya sempurna seperti orang yang sudah lama tinggal di luar negeri. Menarik. Perempuan bernama Wendy ini benar-benar menarik di mataku.

Dan aku teringat tujuan pertamaku datang kemari. Sambil tersenyum, aku menunjukkan tiket yang kutemukan padanya. "I found your friend's ticket on my way here."

"What?" Wendy kemudian mendekat padaku untuk melihat baik-baik tiket yang ada di tanganku. "Is this real? Thank you. And how do you know that—"

"You're such a bad liar, miss. I saw you," jawabku cepat. Kali ini Wendy tersenyum lagi, tapi senyumnya terlihat tulus.

"Sebenarnya aku tidak mau menonton konser ini," cerita Wendy, kakinya mengetuk tanah dengan tempo yang tidak beraturan. "Tapi demi sahabatku, aku datang."

"Your best friend must be really loving you," sahutku kemudian Wendy tertawa.

"Kamu orang mana, sih? Kenapa daritadi bicara Bahasa Inggris?" tanya Wendy masih sambil tersenyum seakan ia tidak membutuhkan jawaban atas pertanyaan itu.

Aku tahu sekarang bahwa perempuan bernama Wendy ini sangat cerdas. Dia juga tipe orang yang mengerti kondisi dan suasana dengan baik. Dia orang yang penuh dengan karisma.

"Don't look at me that way," ujar Wendy dan aku sangat malu karena tertangkap basah mengamati wajah Wendy yang sangat cantik. "Am I looked pathetic enough for you?"

Kali ini aku berusaha menjawab, "Tidak. Ayo nonton konser."

Lagi-lagi Wendy tersenyum karena menyadari logatku yang aneh. Mungkin tadi Wendy juga mengamatiku. Dan aku takut Wendy bisa membaca isi hatiku.

Datang ke konser ini sama seperti uji nyali bagiku. Penyanyi dan aktor itu pada dasarnya sama, melalui puluhan bahkan ratusan audisi sebelum berhasil mencapai posisinya sekarang. Dan bagiku yang sudah ditolak audisi sebanyak 118 kali, konser ini adalah salah satu bentuk nyata dari tujuan jauh yang gagal aku raih.

Aku ingin melupakan impianku untuk menjadi aktor. Aku hanya akan fokus pada hal yang sudah ditentukan sejak aku lahir. Bisnis di café keluarga. Di Kota Seoul ini, bersama keluarga baruku.

Setiap orang pasti memiliki alasan kuat mengapa konser ini sangat berarti untuknya. Bagiku, konser ini adalah pengingatku untuk melupakan impianku. Ironis, bukan? Pengingat untuk melupakan.

Dan aku penasaran apa arti konser ini untuk Wendy.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang