[ MARK ]
Saat satu pintu kehidupan tertutup di hadapan kita, itu bukan berarti tidak ada kesempatan lagi untuk kita. Bisa jadi, Tuhan diam-diam sudah menyiapkan pintu lain.
Penulis naskah. Pernah kalian dengar pekerjaan macam itu? Kalau kalian senang dengan bidang media dan siaran, kalian pasti akan akrab dengan istilah itu.
Di balik sebuah acara televisi, drama, film, bahkan komik sekalipun, ada penulis naskah yang ikut berkontribusi. Seorang penulis naskah dapat dibayar sangat tinggi per-episode.
Terlalu sibuk memikirkan target menjadi penulis naskah, membuatku tidak terlalu antusias bertemu Wendy hari ini.
Kalau kalian lihat kalender sekarang, hari ini adalah Hari Kamis. Hari di mana bukan waktunya Wendy bekerja, tapi dia ingin bertemu denganku di Café Hometown.
Kata Wendy, ada suatu hal penting yang mau dibicarakan denganku.
Oh, ya, apa kalian penasaran bagaimana hubunganku dengan Wendy setelah perempuan itu menginap di Café Hometown? Maka jawabanku adalah: kalian tidak perlu kecewa.
Sungguh. Karena sudah bertukar nomor telepon, kami jadi sering komunikasi melalui iMessage. Kami juga saling bertukar gambar lewat snapchat. Selalu ada interaksi di antara kami, setiap hari.
Bukankah ini yang dinamakan meningkatkan kualitas waktu?
Dan kalian harus tahu, bahwa cara Wendy berkomunikasi melalui media sosial, itu sama persis dengan bagaimana Wendy berkomunikasi di dunia nyata. Aku bisa membayangkan nada bicara Wendy di setiap kalimat yang ia tulis.
Tepat saat aku hendak mengirim satu pesan snapchat untuk Wendy, perempuan itu sudah menampakkan diri dan masuk ke dalam Café Hometown bersama Irene.
Lho? Wendy tidak bilang kalau dia akan datang bersama Irene.
"Selamat sore," sapa Irene sambil tersenyum.
"Selamat sore, Mark," sapa Wendy dari sebelahnya.
Aku tersenyum canggung. Bertemu satu perempuan cantik saja sudah membuatku gugup, apalagi dua, 'kan? "Selamat sore, Wendy, Irene."
Karena Café Hometown sedang ramai, aku membawa mereka ke ruangan kerjaku. Ruangan kerja yang isinya berkas dan data-data merepotkan yang harus kuperiksa setiap hari.
"Santai saja," kataku pada Wendy dan Irene yang mengamati sekeliling ruangan dengan penuh takjub.
Aku memperhatikan Wendy dan Irene bergantian, lalu menyadari beberapa hal. Tinggi badan mereka sama, warna kulit mereka sama pucat, badan mereka juga sama mungilnya.
Lantas mengapa hanya Wendy yang tidak bisa lepas dari pandanganku?
"Jadi? Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyaku pada Wendy setelah mereka duduk di hadapanku.
Wendy menatap Irene seakan meminta pertolongan. Ah, dasar dua sahabat yang tidak bisa dipisahkan.
"Begini, Mark, tidak apa-apa, 'kan, kalau aku yang bicara?" Irene membuka mulutnya. Aku hanya bisa mengangguk. "Wendy ingin membicarakan impian kalian berdua."
Impian? Tunggu. Jangan bilang kalau Wendy menganggap serius pernyataanku tentang dirinya yang harus kembali menjadi penyanyi.
Karena aku setengah bercanda saat mengatakan hal itu.
Silakan tampar aku, saudara-saudara.
Tapi serius, aku memang setengah bercanda. Karena saat itu aku masih ngantuk dan kesadaranku belum pulih sepenuhnya.
"Oh, impian apa?" tanyaku pura-pura tidak mengerti. Siapa tahu yang akan dibicarakan Wendy hal yang berbeda, bukan?
Irene menatapku frustasi, sedangkan Wendy masih sibuk dengan pikirannya.
Aku tahu, Wendy. Sangat sulit untuk kembali bangkit setelah menyerah. Dan sebagai orang yang berada di posisi yang sama denganmu, aku bangga kamu bisa datang ke kantorku untuk membicarakan impianmu.
Impian kita, kalau itu memang benar.
"Wendy, kurasa kamu harus sampaikan pada Mark sendiri," tegur Irene sambil menatap Wendy. "Kamu bisa, jangan takut."
Iya, Wendy. Kamu bisa. Jangan takut padaku, teman iMessage dan snapchatmu beberapa hari ini.
Wendy mengangkat sedikit dagunya, matanya memancarkan seberkas sinar harapan. Barusan aku menggunakan majas hiperbola.
"Aku sudah memutuskan, aku akan coba berjuang untuk jadi penyanyi lagi," ujar Wendy jujur. "Dan aku mau kamu juga coba mulai menulis naskah."
Tanpa berpikir panjang, aku mengangguk. Kalau Wendy sudah memutuskan, maka aku juga harus menyetujuinya.
"Aku mau kita lebih fokus, agar kita tidak menyerah lagi suatu hari," lanjut Wendy. "Aku ingin kamu menulis sebuah naskah drama. Lalu aku ingin mengisi soundtrack di drama itu."
Bulu tangan dan kakiku berdiri, terkejut dengan pernyataan Wendy. Dia berubah sangat drastis dari pertemuan pertama kami di konser.
"Sebenarnya ini ide Irene, tapi... Kamu mau, 'kan?" tanya Wendy dengan nada memohon. "Aku sudah tidak peduli berapa lama lagi impianku akan terwujud. Mau itu berbulan-bulan atau bertahun-tahun, aku hanya ingin orang mendengarkan nyanyianku."
Ya Tuhan, apa ini benar-benar Wendy? Dia sama sekali tidak bisa diprediksi. Dan aku suka sifatnya yang seperti ini.
Saking terharunya, aku merasa air mataku akan menetes. Tapi aku menahannya sekuat tenaga, karena mana mungkin aku menangis di depan dua perempuan cantik.
"Irene, bisa kamu keluar sebentar?" pintaku. "Ada hal lain yang perlu kubicarakan dengan Wendy, berdua saja."
Tanpa bertanya apapun, Irene segera mengangguk dan bangkit dari tempat duduknya. Irene memberitahu Wendy bahwa ia akan langsung menuju tempat kerja.
Dan di dalam hati, aku menyuruh Irene untuk cepat pergi. Di setiap langkah yang Irene ambil, jantungku berdetak semakin kencang.
Saat Irene sudah keluar dan menutup pintu dengan sempurna, aku bangkit dari dudukku, menghampiri Wendy, menarik perempuan itu berdiri dan membawanya ke pelukanku.
Aku memeluk tubuh Wendy Son, seorang perempuan yang sudah membuat hidupku di Seoul jauh lebih menyenangkan.
Bertemu Wendy adalah keberuntungan terbesarku. Wendy menunjukkan padaku, sebuah pintu lain yang sudah disiapkan Tuhan untukku.
"Mark?" gumam Wendy pelan di dalam pelukanku.
"Diam Wendy. Biarkan aku memelukmu," balasku lembut. Dan air mata yang sudah kutahan, akhirnya mengalir dan membasahi pundak Wendy yang sudah balas memelukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...