65

741 171 25
                                    

[ MARK ]

Kalau aku tidak pernah datang ke Seoul, apa yang akan terjadi?

Aku datang ke Seoul karena perintah dari Ayah. Aku diperlukan di Seoul untuk mengurus Café Hometown yang merupakan usaha milik keluargaku. Sebagai anak laki-laki, meneruskan usaha keluarga memang kewajiban.

Tapi apa yang akan terjadi seandainya aku menolak perintah Ayah hari itu?

Apa aku akan tetap keras kepala dan mengejar impianku untuk menjadi aktor Hollywood? Apa aku akan kabur dari rumah? Apa aku akan bisa sukses? Apa aku akan pernah jatuh cinta?

Ini adalah musim semi pertamaku di Seoul. Aku begitu jauh dari keluarga, tapi orang-orang di Seoul bisa membuatku tidak kesepian. Aku telah bertemu banyak orang yang membuatku bisa berada di tempatku sekarang.

Yang menyarankanku untuk menjadi penulis naskah adalah Wendy. Tanpa perempuan itu, aku hanya laki-laki berwajah tampan yang datang dari Los Angeles untuk mengambil posisi manajer seenaknya.

Dan berkat dukungan dari orang-orang di sekitarku, aku menemukan impian baru bersama Wendy. Aku menemukan hal yang ingin aku wujudkan demi Wendy.

Cinta. Aku sudah jatuh cinta pada Wendy. Dia mengisi kekosongan di hatiku.

Suka. Aku begitu suka dengan pekerjaanku saat ini. Aku menemukan jati diriku yang baru.

Impian atau cinta. Memperjuangkan atau menyerah. Pergi atau tetap tinggal. Mana yang akan kupilih? Seandainya kalian ada di posisiku, mana yang akan kalian pilih? Mana yang akan dipilih oleh Wendy?

Ketukan pintu menjadi jawaban pertama. Satu-satunya akses keluar masuk ke dalam ruanganku itu terbuka, menampilkan sosok Wendy. Dia datang sendirian dan wajahnya sembab karena air mata.

"Wendy," spontan aku memanggilnya dan bangkit dari kursiku. Aku berjalan menuju Wendy dan meraih tangan mungilnya.

Di luar dugaanku, Wendy menepis tanganku dan mengambil mundur satu langkah. Wendy menoleh ke belakang untuk memastikan pintu sudah tertutup sempurna.

"Aku nggak akan lama di sini. Aku hanya perlu bicara sebentar," kata Wendy dengan nada bicara yang membuat bulu kudukku berdiri.

Apa yang sudah kulakukan? Dia tidak seperti Wendy yang kukenal. Wendy yang ada di hadapanku sekarang begitu dingin, seperti dikendalikan oleh emosi.

"Mau kubuatkan Seoul Latte?" tanyaku pelan kemudian Wendy menggeleng. "Kalau begitu kamu duduk dulu, baru kita bica—"

"Aku nggak butuh libur," ujar Wendy memotong kalimatku. "Aku berhenti saja."

Seketika tubuhku menjadi kaku. Aku tidak bisa menggerakkan tangan maupun kakiku. Apa yang baru saja kudengar?

"Kamu bilang apa, Wendy?" tanyaku memastikan. Kumohon, berbohonglah. Katakan padaku bahwa kamu hanya bercanda, Wendy.

"Aku akan berhenti bernyanyi di Café Hometown," balas Wendy tanpa menatapku yang berdiri di hadapannya. "Aku akan mencari pekerjaan lain."

Tidak ada sedikitpun kebohongan yang terkandung pada kalimat Wendy. Aku semakin tidak mengerti. Tapi hatiku seakan ingin menangis.

"Apa ini karena perkataanku tadi?" tanyaku berusaha tetap tenang. "Keterlambatanmu memang nggak profesional, tapi bukan berarti kamu harus berhen—"

"Aku nggak bisa di sini terus, Mark," kali ini Wendy maju selangkah kemudian membenamkan kepala di dadaku. "Aku harus pergi."

Tanganku tidak bisa bergerak. Padahal aku ingin sekali memeluk Wendy. Tapi aku takut, jika aku memeluknya, ini akan menjadi pelukan kami yang terakhir.

"Bagaimana dengan impian kita, Wendy?" maka yang kulakukan adalah menundukkan kepala hingga kepalaku bertemu dengan kepala Wendy. "Impian kita belum terwujud, 'kan?"

Wendy mengangguk. "Aku akan berjuang di tempat lain, Mark. Karena itu, kamu juga berjuanglah. Berusahalah menjadi penulis naskah yang terkenal."

"Lalu apa gunanya aku berusaha, kalau kamu nggak ada di dekatku?" entah sudah berapa kali aku bertanya pada Wendy.

"Kamu nggak harus bersamaku, Mark," jawaban Wendy begitu hampa. "Masih ada orang lain yang lebih baik dariku, yang bisa ada di dekatmu."

Siapa, Wendy? Kamu harus tahu bahwa yang membuatku bisa ada di posisi sekarang adalah kamu. Yang mengubahku menjadi manusia yang lebih baik adalah kamu.

Dan aku sama sekali tidak menyangka Wendy bisa melemahkanku dengan satu kalimat yang berbunyi, "Aku cinta kamu, Mark."

Kini semua jawaban sudah jelas.

Wendy memilih untuk pergi. Wendy memilih untuk berjuang. Wendy memilih impian daripada cinta. Dan aku bukanlah siapa-siapa yang bisa mengubah pilihan yang diambil oleh Wendy.

Aku meraih bahu Wendy kemudian mendekatkan wajahku untuk mencium bibirnya, untuk membuat Wendy sekali lagi mempertimbangkan pilihannya. Tapi Wendy meletakkan jarinya di depan bibirku, seakan memberitahuku bahwa keputusannya sudah bulat.

"Terima kasih, Mark," ucap Wendy pelan. "Terima kasih sudah membantuku selama ini."

Wendy menatapku begitu sedih dan tangannya bergerak untuk membuka pintu. Aku tidak mengerti apa yang dirasakan Wendy saat ini. Tapi yang jelas, aku sudah tidak bisa melakukan apapun.

Hingga detik Wendy menyerahkan secarik kertas padaku, aku masih diam berdiri di tempat. Sudah berakhir. Semua sudah berakhir.

Satu-satunya yang tersisa adalah secarik kertas yang Wendy berikan padaku sebelum pergi meninggalkan Café Hometown. Kertas yang ternyata surat terakhir dari Wendy.



Aku menulis surat ini sebelum masuk ke ruanganmu.

Aku takut aku tidak bisa mengatakan semua yang ingin kukatakan, jadi aku menulisnya di sini.

Takdir kita yang belum berakhir akan kuhentikan di sini.

Saat aku tidur nanti, itu akan menjadi malam pertamaku untuk melupakanmu. Aku harus melepasmu seperti ini, aku benar-benar minta maaf.

Saat matahari terbit besok, itu adalah hari pertamamu tanpaku. Tapi ingatlah kalau aku akan selalu mengingatmu sebagai bagian terbaik dalam hidupku.

Aku sadar kebahagiaanku bukan di sini. Aku nggak bisa bertahan di tempat yang membuatku membelakangi dan mengabaikan banyak hal.

Bagaikan angin, masih banyak tempat yang bisa aku tuju. Meski itu berarti aku harus menghapus kenangan yang pernah kita buat.

Bersama dengan langkah kaki yang akan kita tempuh, aku harap kamu tidak akan sedih dalam waktu yang lama.

Seperti kelopak bunga yang berguguran, aku hanya bisa meratapimu. Aku minta maaf karena kita harus berakhir seperti ini.

Jika kita bertemu lagi suatu hari, tolong jangan katakan 'selamat tinggal' padaku.

Kamu adalah cintaku, Mark. Terima kasih.



Musim semi di usiaku yang ke-24, hatiku melepas Wendy.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang