[ IRENE ]
"Kerja bagus hari ini, Irene. Kau boleh pulang,"
Begitu mendengar kalimat tersebut terucap dari bibir manajer, aku langsung mengemaskan barang-barangku dan bersiap melangkah keluar dari kantor. Melangkah keluar dari ruangan ber-AC ini dan menyambut sinar matahari yang hangat di kulitku.
Aku memberi senyum tipis pada manajerku. "Kalau begitu, aku permisi."
Dan tepat saat aku hendak membuka pintu, sang manajer berkata lagi, "Irene, aku tahu kau sedang tidak fokus hari ini. Kuharap kau tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaanmu."
Tidak ada balasan yang terlontar dari bibirku. Aku sudah tahu bahwa manajer menangkap sikapku yang aneh belakangan ini.
Namaku Irene, umurku 23 tahun, dan aku bukan manusia yang pandai mengatur emosi. Sudah seminggu ini pikiranku dipenuhi satu hal.
Dalam sebuah buku yang pernah kubaca, kesuksesan seseorang ditentukan oleh tiga hal. Yang pertama adalah kemauan. Yang kedua adalah kerja keras. Dan yang ketiga adalah keberuntungan.
Sahabatku, Wendy, jelas orang dengan kemauan besar dan kerja keras yang tidak tertandingi. Sangat malang nasib Wendy karena seminggu yang lalu, ia ditolak oleh Antena Records, salah satu perusahaan rekaman besar di Korea Selatan.
Memangnya siapa yang tidak terganggu dengan hal itu? Aku adalah orang yang paling terganggu. Aku sebagai sahabat tidak bisa berbuat apapun untuk mendukung Wendy. Dia terus berjuang sendirian.
Dulu, aku dan Wendy memiliki cita-cita yang sama. Aku dan Wendy ingin menjadi penyanyi. Kami sama-sama mengadu nasib di Seoul, pergi dari satu agensi ke agensi lain untuk mencari kontrak.
Suatu hari, setelah aku dan Wendy baru saja selesai dari audisi ke-17 kami, ada seorang agen model yang datang padaku dan menawariku pekerjaan di kantornya. Bayangkan bagaimana perasaan kami saat itu. Aku dan Wendy sama-sama terkejut bukan main.
Wendy terus memaksaku mengambil tawaran pekerjaan itu. Dia ingin melihatku bahagia dengan pekerjaanku. Dan dia bilang, dia bisa audisi seorang diri.
3 bulan berlalu dan inilah diriku, seorang model pemula yang bagaikan bayi yang baru belajar menggenggam benda. Aku masih polos dan masih merasa bersalah karena sudah meninggalkan Wendy mengejar cita-citanya seorang diri.
Apalagi, Antena Records berada tepat di depan kantor modelku. Seharusnya minggu lalu aku bisa menemani Wendy, tapi aku memiliki pekerjaan. Pada akhirnya Wendy menangis di telepon saat aku menghubunginya.
Di saat aku kesal seperti sekarang, ada satu tempat yang bisa membuat emosiku turun. Tempat itu tidak jauh dari kantor modelku.
Jika aku melangkah sejauh 300 meter, ada sebuah café berdesain vintage yang ramai dikunjungi anak muda. Café itu bernama Hometown. Dan percaya padaku, tempat ini menyuguhkan kopi paling enak di Kota Seoul.
"Selamat datang Irene," itu adalah suara Jackson, salah satu pegawai di Café Hometown. "Pekerjaanmu sudah selesai?"
Aku mengangguk. "Sudah. Aku boleh pesan yang biasa, kan?"
Jackson menyunggingkan senyum lebar. "Satu Creamy Daegu dengan extra sugar, kan? Silakan menunggu di meja nomor tiga."
Sekarang kalian pasti mengerti mengapa café ini dinamakan Café Hometown. Ya, karena nama minuman yang tersedia di sini, semuanya menggunakan nama distrik di Korea Selatan. Seperti minuman yang kupesan, Creamy Daegu.
Sejak bekerja sebagai model, aku sering melepas stress di café ini. Bukan hanya karena minumannya yang enak, café ini menyambut ramah semua pengunjung yang datang.
Aku sudah berkenalan dengan enam laki-laki yang selalu terlihat di Café Hometown. Dari jabatan tertinggi, ada Jaebum, Jackson, Jinyoung, Youngjae, Bambam, dan Yugyeom. Mereka enam laki-laki yang sangat menggemaskan.
Tidak heran banyak anak muda, terutama kaum hawa, datang ke Café Hometown. Mereka semua terpesona oleh enam laki-laki yang usianya masih terbilang muda.
"Satu Creamy Daegu dengan extra sugar untuk Nona Bae Irene," kata Jackson sambil meletakkan minumanku di atas meja.
"Terima kasih," ujarku cepat. "Kamu boleh duduk di sini."
Aku selalu datang ke Café Hometown sendirian dan itu membuat laki-laki bernama Jackson—yang paling ramah di antara semua—rela menemaniku minum di sini.
Bukan, Jackson bukan pacarku. Enam laki-laki di Café Hometown ini memang tampan, tapi tidak ada satupun yang ingin aku jadikan pacar. Lagipula, urusan cinta saat ini bukan nomor satu. Aku masih berada pada tahap awal pekerjaanku, aku ingin menikmatinya.
Mataku yang mengelilingi café tiba-tiba mendapati sebuah panggung berukuran bundar, lengkap dengan sound system dan microphone yang ada di belakang café.
"Jackson, itu apa?" tanyaku sambil menunjuk panggung. "Itu barang baru?"
"Oh, itu! Ya, itu panggung yang baru dibeli Jaebum kemarin," jelas Jackson cepat.
"Jaebum beli panggung itu kemarin?" tanyaku lagi kemudian Jackson mengangguk.
"Iya. Kata Jaebum, kalau ada live music di tempat ini, pasti pengunjung yang datang akan banyak," ujar Jackson mantap.
Itu dia! Kalau Wendy bernyanyi di Café Hometown dan menarik banyak pengunjung, kesempatannya untuk berkarir sebagai penyanyi akan semakin besar! Apalagi jika kebetulan ada direktur atau produser atau komposer yang datang ke café ini. Wendy akan semakin bersinar!
"Jackson! Aku punya ide bagus," seruku sambil tersenyum. "Aku punya orang yang sangat pas untuk bernyanyi di café ini. Dia sahabatku."
Jackson mengernyit. "Sumpah? Apa orang itu cantik? Pintar nyanyi?"
"Iya, jangan ragu sama kemampuannya! Aku yakin, café ini pasti makin terkenal kalau kamu minta sahabatku nyanyi di sini," lanjutku penuh semangat.
Aku mendapat tepuk tangan meriah dari Jackson. "Bagus! Kalau begitu aku kasitahu Jaebum dulu, ya. Dia yang bertanggung jawab untuk live music."
Setelah memanggil Jaebum, kami bertiga berdiskusi tentang penyanyi pertama yang akan mengisi tempat di Café Hometown, yang tak lain adalah sahabatku sendiri.
Aku menceritakan semua tentang Wendy, mulai dari latar belakang, kemampuan bernyanyi, hingga potensi yang dimilikinya.
"Satu-satunya yang kurang dari Wendy adalah tempat untuk bernyanyi," jelasku serius. "Karena itu aku mau dia bernyanyi di café ini."
"Tapi Irene, dua minggu lagi, manajer café yang baru akan datang. Aku tidak mau kalau mengambil keputusan tanpa dia," jelas Jaebum tidak yakin.
"Please, Jaebum. Aku minta untuk kali ini saja kamu kabulkan permintaanku," ucapku memohon.
Aku tidak ingin mengalami penyesalan lagi. Aku tidak mau melihat air mata Wendy lagi. Aku sebagai sahabat Wendy, ingin memberikan yang terbaik.
"Kalau begitu, besok malam bawa Wendy ke sini," kata Jaebum. "Aku dan yang lain akan menilai penampilannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...