31

920 213 20
                                    

[ WENDY ]

Bumi berputar, dunia berputar, bahkan musim berputar.

Saat ini adalah Bulan Februari, bulan terakhir di musim salju. Sebentar lagi, salju-salju akan mencair, tunas bunga akan mekar, udara dingin akan pergi. Sebentar lagi, musim semi akan tiba.

Tapi di penghujung musim dingin, tunas musim semi sudah tumbuh di dalam hatiku. Akhir-akhir ini aku menikmati hidup. Aku menghabiskan sebagian waktu di Rumah Sakit dan saat ini hal itu sudah tidak jadi masalah untukku.

Saat ini aku berada di toko churros depan stasiun untuk menulis irik, sambil mencoba churros dengan saus stroberi. Aku datang ke sini atas saran sahabatku, Irene.

Aku memang merasa lirik yang kutulis masih memiliki banyak kekurangan. Bagaimanapun juga, ini lirik pertamaku. Beberapa kata masih tidak pas dan harus kuganti dengan kata lain yang lebih puitis.

Haruskah kubilang bahwa aku sedikit iri dengan Mark? Laki-laki itu juga menulis cerita webdrama untuk pertama kali, tapi dia banjir pujian dari Irene. Aku juga mengakui bahwa cerita buatan Mark memang sangat bagus.

Huh, sepertinya aku harus lebih berusaha. Aku perlu motivasi lain yang membuatku bisa lebih bersemangat.

Aku menarik napas panjang. Tenanglah, semua akan indah pada waktunya. Aku hanya harus tetap menulis lirik, bukannya diam dan merenungkan kekuranganku.

Tidak ada masalah di dalam hatiku saat memperlihatkan lirik buatanku pada Irene. Dia sahabatku dan aku sudah tidak malu-malu lagi padanya.

Tapi bagaimana nanti, jika lirik laguku sudah dikemas menjadi sebuah lagu dan didengarkan oleh orang lain? Jujur, aku belum percaya diri. Aku belum puas. Aku belum mau berhenti.

Aku menelusuri internet dan membaca kamus online untuk mencari kata-kata yang pas untuk menggantikan kata-kata yang kugunakan sekarang. Aku menghapus dan menulis kata-kata yang baru.

Harus kuakui, aku jarang membaca karena aku terlalu sibuk bernyanyi dan mendengarkan lagu. Terakhir kali aku membaca buku adalah sebulan lalu di Rumah Sakit, itupun aku membaca buku dongeng.

Menurut internet, jika kita sedang stuck di suatu tempat, maka kita perlu mengubah apa yang ada di sekeliling kita.

Kuputuskan untuk memesan segelas strawberry smoothies untuk membasahi kerongkongan dan memberi rasa pada lidahku.

Dan saat pesananku datang, seorang laki-laki lain yang bukan pelayan toko, berhenti di hadapanku. Aku mendongak untuk mengetahui siapa yang datang dan menghela napas saat sadar.

Kenapa aku bisa bertemu orang ini lagi? Suga, ya? Hmm, takdir yang aneh.

"Selamat sore, Wendy," sapa Suga dengan nada tanpa semangat. "Boleh aku duduk di sini?"

Aku tersenyum sewajar mungkin. "Silakan, Suga."

Apa kalian tidak merasa aneh jika bertemu dengan orang asing yang sama, secara tidak sengaja, lebih dari satu kali? Apa Suga masih pantas disebut orang asing?

Pertemuan pertama kami adalah di lift Rumah Sakit. Kemudian yang kedua di lobi Rumah Sakit. Ketiga dan keempat, di tempat ini. Selanjutnya di mana lagi?

"Kamu tidak pesan?" tanyaku karena Suga hanya sibuk main ponsel begitu duduk di hadapanku.

"Sudah pesan, kok," balas Suga, masih datar. "Kamu sedang menulis apa?"

Oh, tidak. Jangan bilang aku harus menunjukkan lirik buatanku pada orang ini, aku belum siap!

"Kamu nulis lirik lagu?" tanya Suga dan aku heran kenapa pertanyaan dia sangat tepat sasaran. "Boleh kulihat?"

Aku mengangguk pasrah. "Silakan, Suga."

Ingin sekali aku tenggelam di telan Bumi karena aku harus menahan rasa malu. Lirik lagu buatanku yang konyol sedang dibaca orang lain. Memang, ini bisa menjadi salah satu cara untuk meningkatkan rasa percaya diriku. Tapi aku benar-benar malu karena Suga tersenyum tipis saat membaca lirik buatanku.

"Sudah lumayan, kok," komentar Suga.

"Oh, ya?" gumamku lalu Suga mengangguk.

"Aku tahu ini lumayan karena aku sendiri juga sering menulis lirik lagu," jelas Suga.

Wah, ternyata Suga yang sering bertemu denganku adalah penulis lirik lagu. Benar-benar takdir yang luar biasa, mungkin ini cara Tuhan untuk membantuku.

Pesanan churros dengan saus cokelat untuk Suga datang dan bersamaan dengan itu, ponselku berdering. Aku membaca nama penelepon dan tersentak. Telepon dari Papa.

"Halo? Papa, ada apa?" tanyaku cepat.

"Wendy, dengarkan Papa dan jangan panik,"

"Baiklah, aku akan tetap tenang. Ada apa?"

"Kondisi Mama tiba-tiba kritis. Dia tidak bangun setelah kemoterapi kemarin,"

Mendengar itu, air mataku menetes. Aku sangat sensitif terhadap apapun yang berhubungan dengan keluargaku. Apalagi Mama yang saat ini sedang mengidap kanker payudara stadium dua.

"Wendy, tenangkan dirimu. Ini juga berat untuk Papa. Jangan menangis, kamu harus kuat,"

"Sekarang Papa di Rumah Sakit? Aku ke sana, ya?"

"Iya, Wendy. Papa dan kakak ada di Rumah Sakit,"

"Aku ke sana sekarang. Tunggu aku," ujarku dan aku memutus panggilan.

Sekarang apa yang harus kulakukan? Menelepon taxi? Atau naik bis? Mana yang lebih cepat? Ya Tuhan, aku benar-benar panik dan tidak tahu harus berbuat apa.

Suga yang daritadi bersamaku, bengong saat melihatku menangis. Raut wajahnya terlihat khawatir sekaligus bingung.

"Ada apa, Wendy?" tanya Suga serius.

Air mataku sudah menetes membasahi meja. "Mamaku... Kondisi beliau tiba-tiba kritis. Aku harus ke Rumah Sakit. Tapi aku tidak tahu aku harus bagaimana—"

"Tenang, Wendy. Tenang. Aku bawa mobil, aku bisa mengantarmu ke Rumah Sakit," kata Suga memotong kalimatku.

"Benarkah?" tanyaku kemudian Suga mengangguk.

Menit selanjutnya, aku sudah berada di dalam mobil Suga, laki-laki asing yang bersedia waktu makannya terpotong hanya untuk mengantarku ke Rumah Sakit.

Dalam perjalanan, aku terus menangis. Aku sudah menghabiskan banyak sekali lembar tissue untuk membersihkan pipiku, tapi selalu saja air mata yang baru mengalir.

Mobil Suga menembus keramaian, dia menyetir dalam kecepatan tinggi tanpa kuminta. Suga tahu bahwa saat berhubungan nyawa, waktu satu detik saja sudah sangat berharga.

Aku memanjatkan doa pada Tuhan dan ini sudah ratusan kalinya aku berdoa sambil menangis.

Kumohon, semoga kondisi Mama tidak memburuk.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang