43

848 195 59
                                    

[ WENDY ]

Keajaiban yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba.

Beberapa hari yang lalu, surat rujukan pada Rumah Sakit Belanda untuk mengangkat tumor Mama keluar. Surat rujukan itu membuat keluarga kami benar-benar bahagia karena sebentar lagi Mama akan sembuh total.

Dan hari ini, aku diberi kesempatan untuk merayakan ulang tahunku. Setiap tahun, aku hanya merayakan ulang tahun bersama Irene, kemudian keluargaku. Tapi tahun ini, teman-temanku di Café Hometown membuat kejutan kecil untuk ulang tahunku.

"Wendy duduk di sini saja," kata Irene sambil menggenggam tanganku. Saat ini semua pegawai Café Hometown sedang beres-beres karena perayaan ulang tahunku sudah selesai.

"Benar, nih, aku nggak usah bantu beres-beres?" tanyaku sambil tersenyum. Daritadi Irene tidak membiarkanku berdiri dari kursi dan melihat yang lain bekerja.

"Iya! Kamu, 'kan, sedang ulang tahun. Jadi kamu santai aja," ujar Irene meyakinkan.

Setiap tahun, aku meniup kue ulang tahun bersama keluargaku. Setiap tahun, Irene hanya akan makan malam bersamaku dan memberiku hadiah.

Tapi untuk tahun ini, aku bisa meniup kue bersama teman-temanku. Dan tidak hanya Irene, pegawai Café Hometown yang sudah jadi temanku juga memberiku hadiah.

Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah, Mark memberiku ciuman di pipi sebagai hadiah ulang tahun.

Iya, bisa kalian percaya? Mark Tuan menciumku di pipi. Di depan semua orang yang ada di Café Hometown.

Saat Mark menciumku, aku hanya bisa berdiri mematung. Kedua tanganku memegang balon berwarna biru muda dan silver. Dan selama beberapa detik, aku ingin melepas balon dan memeluk Mark.

Apa ini yang dinamakan cinta? Perasaan bahagia dan ingin selalu bersama dengan orang yang kita suka, apa itu bisa disebut cinta?

Karena aku ingin Mark ada saat aku sedih dan susah. Aku ingin Mark memberiku kekuatan saat aku lemah. Aku ingin Mark berada di sisiku. Aku ingin Mark menjadi pacarku.

"Kalau begitu aku pergi duluan, ya!" seru Irene pada semua yang ada di Café Hometown.

Mark yang sedang membersihkan jendela menghentikan aktivitasnya dan menghampiri Irene. "Cepat banget? Nggak mau di sini dulu sampai Wendy pulang?"

Aku jadi ikut berdiri dan menghampiri Irene. "Iya, Irene. Kamu nggak perlu buru-buru pulang."

Irene menggeleng cepat. "Aku bukan mau pulang, kok. Aku ada pekerjaan."

Aku hanya bisa mengangguk. Benar juga, Irene adalah model yang mulai populer. Dia memiliki pekerjaan penting. Aku tidak bisa memaksa Irene selalu ada bersamaku.

"Kalau begitu, hati-hati Irene," ucap Mark dan Irene tersenyum sebelum pergi.

Berdua bersama Mark setelah tadi dia menciumku benar-benar terasa canggung. Aku bingung harus berkata apa. Padahal sebelum ini, kami sering menghabiskan waktu dengan mengobrol.

Aku tidak memiliki kemampuan telepati, tapi Mark membuka suara seakan dia tahu aku ingin mengobrol dengannya. "Irene kasih kamu hadiah apa?"

Dengan gugup, aku menjawab, "Dress selutut."

Ah, bagaimana ini? Aku tidak bisa berbicara dengan lancar. Padahal banyak sekali hal yang ingin kutanyakan pada Mark.

Bagaimana perasaan Mark padaku? Apa dia menyukaiku juga? Kalau dia menciumku, apa itu berarti dia suka padaku? Tapi bukankah skinship seperti itu sudah biasa di Amerika? Mark, 'kan, berasal dari Los Angeles.

"Irene sayang sekali padamu," lanjut Mark dengan mata yang penuh ketenangan. "Dia yang paling berusaha menghubungimu dan merencanakan kejutan ini."

Bagaimana aku bisa tidak sadar? Aku tidak menghiraukan panggilan atau SMS dari Irene juga Mark karena aku tidak ingin membuat mereka khawatir. Tapi tindakanku justru membuat mereka repot.

"Selama kamu nggak ada, Irene selalu menemaniku mengerjakan naskah," cerita Mark sambil menatapku. "Dia berusaha demi impian kita. Dia benar-benar sayang padamu, Wendy."

Ya Tuhan, aku jahat sekali. Apa yang sudah kulakukan? Aku sudah membuat repot Irene yang tidak ada hubungannya dengan impianku dan Mark.

"Maafkan aku," hanya itu yang bisa kuucapkan.

Mark menggeleng ringan. "Nggak apa-apa, Wendy. Aku juga sudah dengar dari Irene, kalau ini bukan pertama kali kamu hilang tanpa kabar. Kamu pasti punya masalah yang nggak mau kamu ceritakan pada kami, 'kan?"

Kalian tahu? Aku merasa jantungku baru saja ditusuk. Irene benar-benar memikirkanku, benar-benar memahamiku. Irene, sahabatku yang berharga. Tanpa kusadari, aku sudah menyakiti hati Irene.

"Suatu hari, aku pasti akan cerita tentang semua masalahku pada kalian," jelasku. "Tapi nggak sekarang, Mark. Kamu mau menunggu, 'kan?"

Ya, aku akan menceritakan kondisi Mama pada Irene dan Mark, setelah Mama kembali dari Belanda. Aku tidak boleh egois dan harus lebih percaya pada teman-temanku.

"Aku akan menunggu, sampai kapanpun," ucap Mark sambil tersenyum. "Kalau Irene saja bisa sabar, berarti aku juga harus bisa sabar."

Aku merentangkan tangan dan memeluk Mark. Hal yang sedaritadi ingin kulakukan, tapi aku menahan diri. Aku suka Mark. Aku ingin Mark tahu tentang perasaanku.

"Wendy, sudah jam 8 malam," bisik Mark di telingaku, tangannya mengusap rambutku begitu lembut.

Cepat sekali waktu berlalu. Aku harus kembali ke Rumah Sakit dan merayakan ulang tahunku bersama Papa, Mama, dan Kakak. Tapi aku tidak ingin pergi. Aku masih ingin bersama Mark.

Cinta sudah membuatku gila. Aku ingin waktu berhenti, agar aku bisa bersama Mark dalam waktu yang lama.

Mark melepas pelukanku dan meletakan tangannya pada bahuku. Mark tersenyum dan aku bersumpah, senyum Mark adalah harta karunku. Aku tidak ingin senyum Mark direbut.

"Kamu harus pulang sekarang, oke?" ujar Mark. "Lagipula, aku sudah menyelesaikan naskah untuk 7 episode. Kamu juga harus menyelesaikan lagumu."

Oh, ya. Aku sama sekali belum membuat nada untuk lagu yang kuciptakan sendiri. Aku menghela napas kemudian menatap Mark. "Aku ingin merombak semuanya."

Mark menatapku bingung. "Merombak semuanya?"

Aku mengangguk. "Laguku yang kemarin tidak berarti. Aku ingin membuat lirik lagu yang baru, yang berisi permintaan maafku pada Irene. Aku ingin membuat lagu untuk sahabatku."

"Hahaha," tawa Mark. "Kamu merasa kalah dariku? Yah, nggak apa-apa. Berusahalah, Wendy."

"Kamu suka melihatku menderita, ya?" tanyaku sedikit kesal.

"Nggak. Aku suka melihatmu bekerja keras," jawab Mark dengan senyumnya yang mematikan. "Saat kamu bekerja keras, aku jadi ingin melindungimu."

Perkataan Mark membuat hatiku tersentuh. Aku berjinjit untuk mendekati wajah Mark dan mencium laki-laki itu tepat di bibir. Ya, aku mencium Mark. Aku menyerahkan ciuman pertamaku untuk Mark.

Karena itu Mark, tolong lindungi aku. Selamanya.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang