5

1.6K 309 16
                                    

[ MARK ]

Haloooooo, Seoul. Senang bertemu denganmu. Tolong jangan beri aku hidup yang susah.

Setelah membuang impianku untuk menjadi aktor sebulan yang lalu, aku menuruti keinginan ayah untuk mengurus salah satu cabang café beliau yang berpusat di Seoul. Dan hari ini, aku menginjakkan kaki di tanah Korea Selatan untuk pertama kali.

"Mark, ya? Saya Jaebum," kata laki-laki bertubuh kekar yang datang menjemputku di Bandara.

"Salam kenal, Jaebum," ujarku sambil menjabat tangan Jaebum.

Ah, logatku pasti sangat aneh. Aku sudah tinggal di Los Angeles sejak kecil. Aku baru mempelajari Bahasa Korea selama sebulan. Tapi ayah bilang, ada beberapa orang di antara pekerja café yang bisa berbahasa Inggris dengan lancar.

"Silakan ikut saya ke mobil. Kita akan langsung menuju café," ajak Jaebum dan aku mengangguk.

Café Hometwon adalah satu-satunya cabang café ayah yang ada di Korea Selatan. Ayah pertama kali mendirikan café itu di Los Angeles dengan maksud mengingatkan orang dengan kampung halaman melalui minuman.

Konsep yang diusungkan ayahku dianggap menarik sehingga café itu mulai tersebar di berbagai daerah di Amerika Serikat. Baru tiga tahun belakangan ini ayah mendirikan cabang di Benua Asia. Satu di Korea Selatan, satu di Hongkong, satu di Singapura, dan dua di Jepang.

Di antara lima cabang yang ada di Asia, cabang di Seoul—Korea Selatan—adalah yang berkembang paling pesat. Karena itu ayah memutuskan untuk mengirimku ke Seoul.

Dalam mobil, sudah ada satu laki-laki lain yang menunggu di bangku kemudi. Dari wajahnya, aku langsung tahu kalau orang ini bisa jadi sangat berisik.

"Hello, new boss! Welcome to Seoul!" sapanya ramah. "I'm Jackson."

"Nice to meet you, Jackson," balasku sambil tersenyum kemudian masuk ke dalam mobil. "Tidak usah sopan-sopan, ya. Saya ingin kita punya hubungan seperti teman."

Kata ayah, ada enam pekerja laki-laki di Café Hometown. Mereka sudah sangat dekat seperti sebuah keluarga. Rasanya aneh masuk di antara mereka, apalagi langsung mengambil jabatan tertinggi. Manajer.

"Wah, Bahasa Koreamu lumayan juga," puji Jackson diikuti anggukan Jaebum. "Kalau begitu mulai sekarang kita pakai aku-kamu saja."

Setelah memindahkan koper yang kubawa ke bagasi, mobil yang dikemudikan Jackson keluar dari area Bandara, menuju Café Hometown.

Aku sudah melihat interior Café Hometown melalui gambar yang diberi ayah. Café Hometown sebenarnya berlantai tiga, namun hanya lantai satu yang digunakan sebagai café.

Lantai dua dan tiga digunakan sebagai tempat tinggal untuk para pekerja. Dari gambar yang kulihat, ruangan tidur pekerja cukup luas. Ada satu kamar mandi dan satu dapur di setiap lantai.

Jangan remehkan persiapanku, kawan-kawan. Aku sudah mencari tahu banyak hal sebelum berangkat kemari. Satu-satunya hal yang masih belum kumengerti adalah cara membuat minuman di Café Hometwon.

Tapi untuk apa? Jabatanku, 'kan, manajer? Hahaha.

Tiga puluh menit berlalu dan akhirnya kami tiba di Café Hometown. Kami masuk lewat pintu belakang di mana terdapat garasi dan gudang khusus yang hanya bisa diakses pekerja café.

Aku benar-benar diperlakukan bagaikan Tuan Muda oleh Jaebum dan Jackson. Mereka membukakan pintu dan bersedia membawa koperku.

Padahal aku adalah orang gagal. Aku adalah orang gagal yang membuang impianku dan mengambil cara praktis untuk meraih impianku.

Menjadi manajer jelas bukan keahlianku. Tapi aku bisa mendapatkan jabatan tinggi itu semata-mata karena ayahku. Di dunia ini, orang sepertiku tidak hanya satu. Sangat banyak. Dan kadang membuat orang yang bekerja keras menjadi kesal.

Di sini, aku bukanlah kaum minoritas. Kami semua yang di sini terlihat serupa. Kulit pucat, mata yang tidak lebar, rambut yang tumbuh berwarna hitam, dan masih banyak lagi.

Justru di sini, orang Amerika dan Eropa adalah minoritas. Di manapun, minoritas akan selalu tampak menonjol di antara yang lain, karena rupanya yang berbeda.

Sudah cukup untuk segala rasisme yang ada di Amerika. Di Café Hometown ini aku akan mengubah persepsi semua orang. Bahwa tidak peduli suku, warna kulit, agama, dan budaya, aku akan memperlakukan semua orang dengan cara yang sama.

"Kamarmu di lantai dua bersama Jaebum dan Jinyoung," jelas Jackson saat aku berjalan menuju lantai dua. "Kamu mau tukar kamar?"

"Nggak usah. Terima kasih," jawabku cepat.

Setahuku, yang bisa berbahasa Inggris di sini hanya Jackson dan Bambam. Itu artinya aku akan satu lantai dengan orang-orang yang tidak bisa Bahasa Inggris. Tidak masalah, bukan? Justru ini bisa mendorongku belajar Bahasa Korea lebih baik lagi.

Kamarku berukuran cukup besar dan sudah tertata sangat rapi. Aku hanya perlu meletakkan barang-barangku di tempat yang tersedia. Kamarku di sebelah kamar Jaebum dan berseberangan dengan kamar mandi.

Jackson meletakkan koper di dalam kamarku dan lanjut mengajakku berkeliling café. Di lantai tiga, ada empat kamar yang masing-masing dihuni oleh Jackson, Youngjae, Bambam, dan Yugyeom.

Pada jam istirahat café, semua pekerja berkumpul di lantai dua, tepatnya di kamar Jaebum. Aku berkenalan dengan mereka semua. Mereka juga bilang, mereka bersedia mengajariku apa saja.

"Jadi, aku mulai bekerja di sini besok?" tanyaku pada semuanya.

Jinyoung menggeleng. "Besok café tutup."

Aku mengernyit. "Kenapa tutup? Besok 'kan Hari Jum'at?"

Kemudian Jaebum menyerahkan sebuah poster padaku. Besok pada Hari Jum'at di Olympic Stadion, ada sebuah konser musik besar. Café Hometown termasuk salah satu sponsor yang diundang oleh pihak promotor.

"Hebat, ya! Biasanya orang-orang akan mengajukan proposal untuk berjualan di area konser," cerita Youngjae. "Tapi justru promotor yang datang ke kita dan meminta kita untuk berjualan!"

"Café kita memang sudah sangat terkenal di Seoul," sambung Yugyeom. "Semua ini berkat Jaebum dengan ide-ide cerdasnya."

Aku mengerti. Sebelum aku datang, yang memiliki jabatan tertinggi adalah Jaebum. Namanya sering disebut oleh ayahku sebagai pemuda yang sangat dapat diandalkan. Sekarang, aku justru mencuri jabatan manajer darinya.

"Jaebum, mohon bantuanmu, ya," kataku merendah. Jaebum menggeleng seakan menolongku sudah menjadi kewajiban baginya.

"Kalau begitu, kita harus kembali bekerja! Mark pergi saja ke kamar dan rapikan barang-barangmu," ujar Jackson penuh semangat. "Nanti malam kita tutup café lebih awal untuk membahas pembagian kerja untuk besok!"

Ini adalah keluarga baruku. Aku tidak tahu bagaimana nasibku ke depan, tapi seperti kata pepatah, berkelompok lebih baik daripada sendirian.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang