48

827 178 56
                                    

[ MARK ]

Sudah tiga hari berlalu sejak aku mengumpulkan naskah webdrama dan hari ini aku bisa mendengarkan hasil rapat para direktur Naver TV.

Ya, dugaan kalian tepat. Aku dipanggil ke Naver TV. Dan aku tidak sendirian, karena Irene juga meminta Wendy untuk datang. Bukankah ini pertanda bagus?

"Aduh, Mark! Jalan kamu jangan cepat-cepat," ujar Wendy yang berjalan di belakangku.

Kuputar leherku sedikit untuk memperhatikan Wendy yang sudah memasang wajah masam. Otomatis aku tersenyum dan menggenggam tangan mungilnya.

"Makanya, jadi orang jangan bantet," balasku mencibir Wendy.

"Hei!" Wendy memukul bahuku. "Kamu belajar istilah 'bantet' dari siapa!?"

Wendy yang kesal tampak sangat menggemaskan. "Aku belajar dari Jackson. Kenapa? Kamu nggak terima, ya, karena kamu memang bantet?"

"Ah, sudahlah. Menyebalkan," bibir Wendy mengerucut. She's freaking adorable.

"Permisi, Nona Son," aku menundukkan kepala dan mendekati wajah Wendy, kemudian mencium bibirnya cukup lama.

Kami berada di depan gedung Naver TV dan kami berciuman seperti sepasang suami-istri. Iya, aku tahu ini memalukan. Tapi tidak salah, 'kan, kalau aku mengharapkan masa depan yang indah bersama Wendy? Lagipula usia kami sudah pas untuk menikah.

"Mark, kamu..." saat ciuman kami berakhir, Wendy menyentuh bibirnya dan menatapku tidak percaya.

"Aku tahu. Tapi aku nggak tahan untuk nggak cium kamu," jawabku percaya diri. "Ayo masuk!"

Dengan wajah yang sudah tidak lagi kesal, aku berhasil membawa Wendy ke tempat pertemuan kami dengan Irene dan editor majalah tempat Irene bekerja.

Tentu saja, aku mengetuk pintu terlebih dahulu. Kemudian saat kami sudah mendengar aba-aba masuk, baru aku membuka pintu. Ternyata selain Irene dan editor, ada seorang laki-laki lagi yang sudah duduk melingkari meja.

"Akhirnya kalian datang juga!" seru Irene sambil tersenyum untuk menyambut kami. Irene buru-buru berdiri dan memperkenalkan kami.

Dan laki-laki separuh baya itu yang terakhir memperkenalkan diri. "Saya Direktur Park dari Naver TV."

Direktur? Direktur, katanya? Luar biasa. Apa ini berarti naskahku berhasil masuk 10 besar? Apa aku dan Wendy dipanggil ke sini untuk persetujuan kontrak?

"Silakan kalian duduk dulu," kata editor mempersilakan.

Setelah aku dan Wendy duduk, kami diberi sepotong kue dan segelas kopi. Ruangan ini sangat nyaman, suhu udaranya juga sangat pas. Kami seperti orang penting yang siap untuk diwawancara.

"Kalau begitu, saya langsung saja," kata Direktur Park sambil tersenyum menatapku. "Mark Tuan, saya sudah membaca naskahmu. Luar biasa, saya benar-benar suka."

Aku menundukkan kepala. "Terima kasih, Pak."

Tatapan Direktur Park beralih pada Wendy. "Lalu untuk Nona Son Wendy, lagu anda benar-benar bagus. Saya dengar, kamu membuat lagu ini sendiri. Apa kamu bekerja di dunia industri musik saat ini?"

Wendy menggeleng. "Tidak, Pak. Saat ini saya hanya bekerja sebagai penyanyi di café milik Mark. Dan lagu itu adalah lagu pertama yang saya ciptakan sendiri."

"Kamu memiliki bakat, Wendy," puji editor. "Kamu juga, Mark. Tidak kusangka kamu memiliki teman-teman hebat seperti mereka, Irene."

"Terima kasih," balas Irene sambil tertawa kecil.

Sejauh ini, arah pembicaraan sudah bagus. Tapi aku tidak mau berharap lebih. Aku masih waspada seandainya aku mendengar kalimat yang sama saja berarti bahwa aku gagal.

Dan tepat setelah aku berpikir seperti itu, Direktur Park berbicara, "Tapi, Mark Tuan, sayang sekali. Naskah kamu tidak masuk 10 besar."

Sudah kuduga. Mana mungkin pemula sepertiku bisa tembus 10 besar. Apalagi sainganku adalah orang dalam negri. Aku yang belum ada setengah tahun tinggal di Seoul bukanlah tandingan mereka.

Wendy mempererat genggaman tangannya padaku. Dia tahu persis apa yang kurasakan. Setelah dipuji dan dibawa terbang setinggi langit, aku dihempaskan kembali ke Bumi.

"Jangan sedih dulu, Mark. Kenyataannya, naskah kamu masuk 20 besar. Dan di sini Direktur Park mau menawarkan kerja sama padamu," lanjut sang editor.

Aku menelan ludah. Apa ini berarti aku masih memiliki harapan? "Kerja sama seperti apa?"

"Saya sadar bahwa potensimu masih bisa dikembangkan. Karena itu, saya ingin menawarkan posisi fantastis pada anda," jawab Direktur Park. "Apa kamu mau bekerja sebagai asisten penulis naskah?"

"Asisten penulis naskah?" tanyaku bingung.

"Ya, asisten penulis naskah. Lebih tepatnya, naskah drama. Kebetulan saya bekerja di SBS dan ada posisi kosong sebagai asisten penulis naskah," jelas Direktur Park. "Sebagai asisten, kamu bisa belajar macam-macam hal."

"Dan keuntungan lainnya adalah, jika suatu hari kamu membuat naskah drama, pasti naskah kamu memiliki kemungkinan lebih dari 50% untuk dijadikan drama," sambung editor.

Gila, ini benar-benar gila. Aku mungkin gagal pada naskah pertamaku, tapi aku diberi kesempatan besar untuk mengisi layar kaca.

Dan di sampingku, Irene menatapku sambil tersenyum. Ya Tuhan, aku harus berterima kasih pada Irene. Dia pasti sudah berbicara banyak hal pada editor dan Direktur Park.

Lupakan soal webdrama, sekarang aku bisa mengerjakan naskah untuk drama. Dan bukankah luar biasa jika Wendy yang saat ini di sampingku, bisa mengisi soundtrack drama?

"Lalu bagaimana dengan Wendy?" tanyaku memastikan. Lagipula, impian kami belum terwujud. Impian kami sedikit tertunda.

Editor majalah menatap Wendy dengan tatapan bangga. "Ini juga kabar baik. Wendy, bukan hanya kami, tapi semua orang yang hadir di rapat kemarin benar-benar menyukai lagumu. Dan ternyata, lagumu cocok dengan naskah webdrama yang dibuat oleh orang lain."

"Jadi, kami ingin meminta izinmu," lanjut Direktur Park. "Apa kamu mau menyerahkan lagumu untuk dijadikan soundtrack di webdrama lain?"

Aku terkesiap. Apa kata beliau tadi? Lagu Wendy akan dijadikan soundtrack untuk webdrama lain?

"Tapi saya membuat lagu itu untuk webdrama yang naskahnya ditulis oleh Mark," jawab Wendy terdengar hati-hati.

"Kami tahu. Tapi Wendy, kalau kamu menerima hal ini, lagumu akan dirilis di chart dan kamu bisa mendapat tawaran kontrak dari banyak perusahaan rekaman," kata editor meyakinkan. "Apa kamu yakin mau melepas kesempatan ini?"

Saat aku menatap Irene, perempuan itu sudah berwajah murung. Pasti Irene sendiri tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi.

"Beri saya waktu berpikir," ujar Wendy sambil tersenyum kaku.

Ini adalah momen paling menegangkan untukku. Sebagai laki-laki, aku tidak mungkin menarik kata-kataku, bukan?

Kalau Wendy menerima tawaran ini, terpaksa aku harus menunda pernyataan cintaku.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang