25

991 209 9
                                    

[ IRENE ]

Hari ini, setelah sekian lama, aku dapat bertatap muka dengan Wendy, sahabatku. Kami berdua pergi ke mall untuk mencari sepatu baru dan saat ini kami sedang mengantri untuk membeli dua gelas minuman.

Dan kalian tahu? Aku sangat senang!

Apalagi setelah kuperhatikan, Wendy sudah menjadi jauh lebih ceria dibandingkan dulu sebelum kami nonton konser bersama-sama. Aku yakin semua ini pasti berhubungan dengan pekerjaannya sebagai penyanyi tetap di Café Hometown.

Sebagai sahabat Wendy, aku turut bahagia.

Kalian harus tahu, jika Wendy tertawa, dia terlihat seperti anak kecil yang sangat menggemaskan. Dia sangat ekspresif dan selalu tersenyum di setiap selesai bicara.

"Irene, sepuluh menit lagi aku harus pulang," ujar Wendy sambil menatap jam tangannya. "Aku harus mengejar bis di halte."

Aku mengangguk. "Tidak apa-apa. Kita bisa bertemu dan berbicara langsung seperti ini saja aku sudah sangat senang."

Daridulu aku penasaran, mengapa Wendy jarang sekali keluar dari rumahnya.

Dulu saat aku masih mengejar mimpi sebagai penyanyi bersama Wendy, dia hanya keluar rumah untuk mengikuti audisi, menghabiskan waktu sebentar denganku, lalu pulang.

Aku tidak tahu masalah Wendy apa, tapi setiap kali Wendy menelepon keluarganya, wajah Wendy selalu terlihat bersalah. Meski aku sahabatnya, Wendy tidak pernah bercerita apapun padaku.

Seperti itulah Wendy, terkadang dia menyimpan sebuah fakta seorang diri. Aku sempat tidak percaya diri sebagai sahabatnya, tapi sekarang aku mengerti. Wendy hanya tidak ingin membuatku khawatir.

Sebagai sahabat yang baik, aku memutuskan untuk tidak memaksa Wendy bercerita apapun. Aku akan menunggu Wendy bercerita sendiri padaku. Dan jika suatu hari aku mengetahui masalah Wendy dari orang lain, aku tetap akan bersikap pura-pura tidak tahu di depan Wendy.

Apa aku bodoh? Kurasa aku memang bodoh.

Tapi menjadi orang bodoh tetap menguntungkan.

"Ah, Irene, lihat!" seru Wendy sambil menunjukkan layar ponselnya padaku. "Toko churros di depan stasiun ada rasa red velvet! Aku mauuuuu. Ayo kapan-kapan kita pergi ke sana!"

Mendengar itu, aku otomatis tersenyum. "Ide bagus! Ayo ajak yang lain juga!"

Wendy mengerutkan kening. "Memangnya mau ajak siapa lagi? 'Kan cukup kita berdua?"

"Hmm, kenapa tidak ajak teman-teman kita di Café Hometown?" tanyaku kembali. "Aku yakin Jackson suka dengan churros rasa red velvet."

"Benar juga," sahut Wendy. "Sekalian kita bisa ajak Mark jalan-jalan ke luar Café Hometown."

Entah mengapa jantungku berdebar-debar setiap kali mendengar nama Mark disebut. Aku langsung bisa membayangkan wajah Mark yang begitu tampan.

"Ah, iya. Saat mengantarku ke tempat kerja, Mark bilang dia sekalian ingin jalan-jalan," kataku sewajar mungkin.

Wendy mengangguk setuju. "Mark sudah cerita padaku, katanya dia sampai dipaksa masuk ke dalam studio foto sama editor majalah!"

Wah, rupanya Wendy sudah tahu tentang Mark yang mengantarku ke tempat kerja.

Ini kemajuan yang bagus! Aku sudah bilang pada Mark untuk menghabiskan waktu yang berkualitas bersama Wendy. Dan biar kutebak, Mark pasti menghabiskan waktu dengan bercerita banyak hal pada Wendy.

Aku jadi penasaran, percakapan seperti apa yang mereka lalui bersama. Aku jadi penasaran, sejauh apa Wendy membuka dirinya pada Mark.

"Mark sudah cerita padamu, ya? Lalu kamu bilang apa padanya?" tanyaku cukup halus.

"Hmm, aku hanya mendiamkannya. Aku heran, kenapa dia tiba-tiba berubah menjadi sangat cerewet," jelas Wendy. "Lagipula aku juga pernah mengantarmu sampai ke tempat kerjamu, 'kan?"

Tanpa sadar, aku tertawa cukup keras, membuat orang-orang di sekitar kami menoleh.

"Kamu lucu sekali, Wendy. Tapi kamu benar," ujarku masih sambil tertawa. "Lalu apa lagi yang kalian bicarakan?"

Wendy mengambil pesanan dan kami berdua berjalan menuju pintu keluar. "Aku minta Mark cerita tentang audisinya di Hollywood."

Memang setelah kuingat-ingat lagi, Mark pernah berkata padaku bahwa dulu dia memilii impian untuk menjadi aktor Hollywood, tapi dia selalu ditolak oleh perusahaan film saat mengikuti audisi. Dan kata Mark, pengalaman itulah yang membuatnya mengerti apa yang dirasakan Wendy saat ini.

"Ceritanya pasti seru," ujarku kemudian Wendy mengangguk.

"Yang membuatku kagum itu genre cerita yang dipilih Mark. Dia selalu pilih cerita film yang genre-nya drama, fluff, angst, pokoknya bisa bikin yang nonton jadi nangis tapi bahagia," jelas Wendy.

Halo? Di mana kamera? Atau alat perekam? Karena baru saja Wendy bercerita tentang orang lain padaku. Peristiwa langka seperti ini harus diabadikan!

Tapi aku tetap penasaran bagaimana cara Wendy menanggapi Mark. Apa Wendy juga bercerita banyak? Atau hanya menjadi pendengar yang baik?

"Lalu apa yang kamu katakan pada Mark?" tanyaku penasaran.

Tiba-tiba raut wajah Wendy berubah serius, membuatku merasa bersalah sudah bertanya hal yang sepertinya cukup sensitif.

"Wendy? Kenapa? Kok diam?" tanyaku sekali lagi.

Wendy menggeleng lalu tersenyum. "Aku nggak apa-apa. Hanya saja, waktu itu aku bilang ke Mark kalau sepertinya dia cocok jadi penulis naskah."

"Penulis naskah?" tanyaku bingung.

"Iya, setelah kupikir, Mark sangat pintar memilih cerita film yang bagus saat audisi. Jadi menurutku, Mark bisa jadi penulis naskah, orang yang menulis jalan cerita film atau drama," jelas Wendy secara rinci.

"Wah, itu ide bagus!" seruku menyetujui.

Di luar dugaan, Wendy malah menggelengkan kepala. "Tapi sebagai gantinya, Mark memintaku untuk coba jadi penyanyi lagi, Irene. Dan sekarang aku benar-benar bingung."

Aku benar-benar terkejut, Mark ternyata sangat nekat! Dia memanfaatkan kesempatan dengan baik agar Wendy mau mengejar mimpinya lagi.

Dan kalian tahu? Peranku sebagai sahabat Wendy sejak bangku kuliah, sebagai sahabat yang selalu ada di sisi Wendy, sebagai sahabat yang bisa Wendy percaya, adalah memberikan dukungan yang sangat banyak.

"Kurasa bingung pun tidak akan menghasilkan apapun," ujarku. "Kamu tahu? Kalau kamu takut, kamu bisa lebih memperjelas targetmu."

Wendy menggigit bibirnya. "Memperjelas target?"

"Iya, Wendy. Kalau kamu dulu punya mimpi untuk menjadi penyanyi hebat, sekarang coba ubah sedikit mimpimu," kataku penuh semangat. "Bagaimana kalau suatu hari naskah buatan Mark dijadikan drama dan kamu mengisi soundtrack-nya? Kurasa itu mimpi yang indah."

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang