11

1.2K 259 4
                                    

[ WENDY ]

Can't you see that I'm the one
Who understands you?
Been here all along, so, why can't you see
You belong with me, you belong with me
.................

Lagu You Belong With Me dari Taylor Swift berhasil menjadi penutup penampilanku selama dua jam di Café Hometown. Tepuk tangan yang kudengar memang sudah tidak diragukan, tapi yang paling aku suka adalah melihat ekspresi senang para penonton.

Aku melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam lewat lima menit. Itu artinya aku harus segera pergi dari sini dan kembali ke Rumah Sakit tempat Mama berada.

Tapi tidak masalah, 'kan, kalau aku menikmati segelas Seoul Latte dahulu?

Setelah membungkuk kepada para penonton, aku segera mengambil tempat di salah satu meja kosong yang ada di Café Hometown.

Aku sangat beruntung karena sebagai penyanyi tetap di Café Hometown, aku berhak memesan apapun secara gratis. Café ini memang populer di antara anak muda dan para pegawai yang belum menikah.

Sedangkan aku, tidak masuk ke dalam kategori manapun. Aku jelas bukan anak muda dan bukan juga seorang pegawai. Aku hanya seorang perempuan yang luntang-lantang mencari tempat untuk menunjukkan kemampuan bernyanyiku.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, pesananku sudah datang dan terpampang manis di depan mataku. "Satu gelas Seoul Latte atas nama Wendy."

"Terima kasih—"

Ucapanku terhenti karena aku tidak mengetahui nama dari pegawai laki-laki yang baru saja mengantar minumanku. Laki-laki yang bertatapan denganku saat aku memasuki Café Hometown dua jam lalu.

Berdasarkan ingatanku, dia bukan Jaebum, Jackson, Jinyoung, Youngjae, Bambam, atau Yugyeom. Apa dia pegawai baru? Tapi kenapa suaranya terdengar sangat familiar?

"Aku Mark," katanya memperkenalkan diri. "Kita bertemu kemarin di konser akhir tahun."

Apa aku salah tidak mengenalinya sebagai Mark? Sebagai laki-laki yang meminjam bahuku semalam di tempat konser?

Tentu saja tidak. Pencahayaan kemarin begitu kurang hingga aku tidak dapat melihat paras dari Mark. Yang kuingat dari dirinya adalah betapa aneh logat yang ia miliki dan bagaimana ia berbicara menggunakan Bahasa Inggris denganku.

"Aku boleh duduk di sini?" tanya Mark canggung sambil menunjuk kursi yang ada di hadapanku.

"Boleh," tanpa berbasa-basi, aku langsung meraih gelas minumanku dan menyeruputnya dalam-dalam. Melegakan tenggorokanku yang telah bergetar selama dua jam penuh.

Keningku berkerut karena rasa Seoul Latte yang cukup berbeda dari terakhir aku mencicipinya. Rasanya kurang manis, tapi aku sungkan mengatakan hal ini pada Mark. Karena aku merasa bahwa pasti dia yang telah membuat minuman ini untukku.

"Bagaimana?" tanya Mark, dengan tangan kanan menopang dagu dan matanya yang terulur ke arahku.

"Enak," jawabku singkat tapi berusaha menghargai.

Dan Mark tersenyum. "You're such a bad liar, Wendy."

Itu dia! Kalimat yang sama dengan kemarin saat ia tahu aku berbohong agar Irene mengambil tiket konserku. Ada apa dengan Mark hingga laki-laki ini mengamatiku begitu jauh?

"Kalau begitu aku minta gula, ya. Dua sendok saja," kataku memohon.

Mark mengambil gelas minumku dan pergi melangkah untuk menambah gula. Aku tersenyum saat melihat interaksinya dengan Jackson. Sepertinya ia pegawai magang yang baru mulai bekerja hari ini.

Kurang dari dua menit, Mark sudah kembali ke mejaku dengan ekspresi bangga. Asal kalian tahu, tadi aku sengaja memakai kosa kata yang sulit. Jadi wajar Mark merasa bingung dengan apa yang kuminta.

"You asked for two spoons of sugar, right?" tanya Mark dan aku tidak bisa untuk tidak tersenyum.

"That's right! Way to go, new employee!" pujiku membuat Mark bingung.

"Aku bukan pegawai baru," balas Mark dengan tatapan serius. "Aku manajer café ini."

Karena terkejut, aku hampir menyemburkan minumanku tepat di wajah Mark jika saja aku terlalu bodoh untuk mengingat tempat aku berada.

Apa katanya tadi? Dia manajer café ini? Kenapa seorang manajer mau repot-repot membuat dan menyuguhkan minuman untukku? Bukankah manajer biasanya selalu bekerja di balik meja kantor?

"Oh, manajer," kataku sewajar mungkin. "Tapi ini pertama kali aku melihatmu."

"Aku baru datang beberapa hari yang lalu," ujar Mark membuatku mengangguk. "Aku dari Los Angeles."

Wah, sulit dipercaya. Aku kira dia datang dari tempat yang jarang kudengar. Tapi ini Los Angeles! Daerah hiburan terbesar di seluruh dunia.

"Kalau Wendy? Kamu asli Seoul?" tanya Mark sambil menunjuk gelas Seoul Latte milikku.

"Begitulah," jawabku cepat. "Jadi sudah sewajarnya kalau aku bilang 'selamat datang di Seoul' untukmu."

Mark tersenyum dan aku terkejut karena ia terlihat menawan. "Terima kasih. Aku harap aku bisa belajar banyak dari kamu, Wendy."

Aku meneguk minumanku hingga habis. "Belajar apa? Aku tidak bisa apa-apa selain bernyanyi."

Mark menggeleng ringan. "Kamu lebih dari sekedar penyanyi, Wendy. Nyanyianmu terdengar seperti sebuah cerita bagiku."

Apa aku tidak sedang bermimpi? Aku baru saja dipuji oleh seseorang karena nyanyianku. Setelah berkali-kali ditolak oleh perusahaan rekaman, akhirnya aku bisa mendengar kalimat pujian. Dari laki-laki yang datang jauh-jauh dari Los Angeles.

"Kamu mau belajar bernyanyi?" tanyaku memastikan.

"Aku ingin belajar semangat darimu," sambung Mark membuatku tertawa. "Kenapa? Ada yang salah, ya?"

"Nggak, kok," sanggahku cepat.

Ironis sekali saat mendengar Mark menggambarkanku sebagai orang yang penuh semangat. Padahal yang kulakukan adalah hal yang memang aku cintai sejak lama.

"Kalau mau begitu, aku sarankan kamu untuk belajar Bahasa Korea lebih mendalam," ujarku dengan tangan terlipat di depan dada. "Logatmu itu aneh."

Mark mengangguk berkali-kali seakan ia udah tahu kesalahan itu sejak lama. Melihat Mark membuatku teringat pada diriku yang masih memiliki mimpi besar. Sebuah mimpi besar yang ingin aku wujudkan.

Saat aku menoleh ke jendela, aku dibuat terkejut dengan salju yang turun sangat lebat. Minggu ini Bulan Desember sudah mencapai akhir dan suhu Kota Seoul sedang turun drastis.

Tapi masalahnya bukan suhu. Aku tidak bisa ke Rumah Sakit dengan cuaca seperti ini. Taxipun mungkin ragu untuk menembus jalanan dengan salju yang deras dan tidak kunjung berhenti ini.

Maka satu-satunya pilihanku adalah untuk menetap lebih lama di sini. "Mark, bagaimana kalau aku ajarkan kamu Bahasa Korea sekarang?"

Dan lagi-lagi Mark berhasil menebak isi otakku. "Sampai salju berhenti?"

Aku memejamkan mata sebelum akhirnya menjawab, "Sampai salju berhenti."

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang