[ WENDY ]
Kendalikan perasaanmu, Wendy. Kamu pasti bisa melalui hari ini dengan lancar.
Hari ini Hari Jumat dan jadwal bernyanyiku di Café Hometown adalah pukul 5 sore. Tapi hari ini aku datang jam 3 sore atas permintaan Mark.
Kemarin, aku sudah memberitahukan Mark tentang impianku yang baru. Mark sangat mendukungku dan sepertinya dia ingin bekerja sesegera mungkin.
Kami sudah memutuskan untuk bertemu lebih sering dalam rangka mewujudkan impian kami. Seperti sekarang, dua jam sebelum tampil, aku menunggu di kantor Mark. Begitu juga nanti setelah aku bernyanyi, kami masih akan membahas hal ini.
"Ah, maaf Wendy, apa kamu lama menunggu?"
Suara Mark tiba-tiba terdengar dari belakangku, membuatku terkejut. Apa dia masuk tanpa mengetuk pintu? Wajar saja, sih. 'Kan ini ruangannya.
"Nggak, kok. Aku barusan datang," balasku cepat.
Mark mengangguk kemudian segera mengambil duduk di hadapanku. Mark membawa sebuah buku catatan yang sepertinya sangat berharga karena kertasnya sudah berwarna kuning kecokelatan.
"Kalau begitu, langsung saja, ya," ujar Mark memulai diskusi.
Kami sudah memutuskan untuk membuat strategi yang tertata rapi. Target kami adalah, naskah pertama Mark selesai sebelum atau di awal musim semi. Itu artinya, kami memiliki waktu sebulan.
Mark memutuskan untuk memulai karir di ranah webdrama terlebih dahulu. Dia hendak mengirim naskah buatannya ke Naver Korea.
Aku sendiri harus menciptakan lagu untuk soundtrack webdrama yang disusun Mark.
Kenapa harus aku? Karena menurut Mark, jika dia mengajukan naskah sekaligus demo dari soundtrack-nya secara bersamaan, itu bisa menjadi poin tambah dalam pertimbangan.
Agar lagu ciptaanku sesuai dengan naskah buatan Mark, diskusi yang rutin sangatlah diperlukan.
"Aku sudah melakukan banyak survei tentang webdrama yang saat ini digemari remaja Korea Selatan," lanjut Mark sambil menatap catatannya serius. "Menurutku, elemen terpenting adalah karakter."
"Karakter?" ulangku penasaran.
"Iya, karakter," balas Mark. "Aku ingin karakter yang kubuat melekat di hati penonton dan bisa membuat jalan cerita yang biasa saja menjadi luar biasa."
Oh, oke. Aku sama sekali tidak tahu harus memberi komentar apa, karena seumur hidup, aku tidak pernah menyusun sebuah cerita dari nol.
"Aku sudah memikirkan kalau karakterku harus laki-laki yang perilakunya persis masyarakat Korea Selatan saat ini," jelas Mark.
Aku hanya bisa mengangguk. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Mark terlihat sangat bersemangat.
Padahal kemarin dia... Memelukku sambil menangis.
Aku ulang sekali lagi, dia memelukku sambil menangis. Perempuan mana yang tidak luluh?
Memikirkannya saja sudah bisa membuat pipiku merah padam. Aku harus kendalikan perasaanku. Aku tidak boleh berharap lebih pada Mark.
Dia adalah laki-laki yang besar di Los Angeles, Amerika. Di sana, pelukan untuk teman sudah sangat biasa. Karena itu, aku tidak boleh bawa perasaanku lebih jauh.
"Wendy? Kamu dengar, 'kan?"
Celaka, aku terlalu sibuk berkonflik dalam batin hingga tidak mendengarkan penjelasan Mark. Ah, dia pasti marah padaku. Padahal aku yang minta dia untuk ikut mewujudkan impian, tapi aku malah kehilangan fokus.
Tapi tangan Mark yang menyentuh pipiku mengusir segala pikiran burukku. "Kamu lapar? Sudah makan siang?"
Ya Tuhan, cobaan apalagi ini? Dia tidak memarahiku. Dia menawariku makan.
"Aku sudah makan siang," jawabku malu-malu. "Maaf, aku tidak fokus."
Menit selanjutnya, aku kembali fokus pada diskusi bersama Mark. Kami membahas latar tempat, latar belakang tokoh, siapa saja tokoh yang akan muncul, dan yang terpenting adalah alur cerita.
Cerita yang sudah disusun Mark, secara garis besar sudah sangat menarik.
Berkisah tentang seorang laki-laki lulusan jurusan teknik sipil yang sangat terobsesi untuk memiliki karir yang cemerlang dan uang yang berlimpah, agar bisa membangun rumah mewah untuk orang tuanya. Dia bahkan sudah menemukan tanah yang pas untuk membangun rumah tersebut.
Tantangan yang dihadapi laki-laki itu adalah saat tanah tersebut sudah terjual lebih dulu, yang ternyata pembelinya adalah mantan kekasihnya. Jadi, laki-laki itu berjuang meluluhkan hati sang perempuan agar bisa mendapat tanah tersebut.
Yang jelas, ini sudah sangat menarik. Tinggal bagaimana Mark mengemasnya dalam naskah untuk webdrama sepanjang enam atau tujuh episode.
"Oh, ya. Aku akan membuat akhir cerita ini sad ending," tambah Mark.
Aku tidak percaya. "Kenapa harus sad ending?"
Mark menghela napas. "Supaya kamu bisa membuat lagu ballad, Wendy. Kamu tahu, 'kan, kalau masyarakat Korea Selatan sangat tergila-gila dengan lagu ballad?"
Memang benar apa yang dikatakan Mark. Banyak lagu ballad berhasil meraih peringkat tinggi dalam chart dan membuat penyanyi tersebut cepat terkenal.
Jangan bilang kalau Mark sengaja melakukan ini agar aku bisa menjadi penyanyi yang lebih dari penyanyi Café Hometown dan penyanyi soundtrack.
Ya Tuhan, mengapa Mark sangat baik padaku? Ini sangat tidak adil.
"Kita harus kerja keras, ya, Wendy," kata Mark sambil tersenyum. "Dengan begitu, kita pasti bisa punya happy ending untuk kita sendiri."
Benar, Mark. Aku dan kamu. Kita akan sama-sama melangkah lebih dekat menuju impian kita.
"Ah, sudah mau jam lima. Sebentar lagi kamu harus kerja, 'kan?" tanya Mark sambil menunjuk jam dinding.
Mark berdiri terlebih dahulu, sepertinya dia hendak keluar dari ruangan untuk mengawasi pekerjaan pegawai Café Hometown.
Entah darimana keberanian yang kudapat, hingga aku menarik baju Mark dan berhasil membuat laki-laki itu berhenti melangkah.
"Ada apa, Wendy?" tanya Mark lembut.
Aku menarik napas panjang. "Hari Minggu, apa kamu ada waktu? Kalau iya, ayo kita pergi ke toko churros depan stasiun."
"Ada," jawab Mark cepat kemudian tangannya mengusap rambutku. "Sama Irene juga?"
Aku menggeleng. "Nggak. Kita berdua saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...