56

756 176 54
                                    

[ WENDY ]

Aku tahu hari ini akan tiba. Hari di mana sahabatku, Irene, akan bertanya padaku tentang masalah yang aku hadapi. Dan aku tidak memiliki pilihan lain selain berkata jujur.

Tidak hanya pada Irene, tapi Mark juga. Aku sudah membohongi mereka berdua yang selama ini peduli padaku. Aku pernah memutus kontak dengan mereka, padahal mereka sangat percaya padaku.

"Cerita padaku dan Irene, atau kamu nggak kuizinkan pulang."

Kamu tahu, Mark? Kalau aku cerita, kamu dan Irene pasti akan marah padaku. Kalian pasti akan kecewa padaku, karena tidak pernah mengatakan hal yang sebenarnya.

Apa yang harus kulakukan? Aku tidak ingin membuat kalian emosi, terutama Irene. Bagaimana kalau setelah ini Irene meninggalkanku? Aku tidak punya sahabat lagi yang mau ada di sisiku selain Irene.

"Wen, ini sudah malam. Semakin cepat kamu cerita, semakin cepat pula kamu bisa pulang," kata Mark lagi-lagi memintaku untuk berkata jujur.

Irene hanya diam menatapku. Ekspresi wajah Irene sangat murung, dia begitu memikirkanku. Aku tidak mau ekspresi murung itu berubah menjadi ekspresi kecewa. Irene adalah sahabatku yang berharga, yang sudah membantuku selama ini.

"Jangan memaksa Wendy," ujar Irene pada Mark dengan tatapan lembut yang dipaksakan. "Dia belum bisa cerita hari ini."

Mendengar Irene berkata seperti itu membuat hatiku semakin sakit. Apa yang sudah kulakukan selama ini? Tanpa aku sadari, aku selalu memaksa Irene untuk bersabar menungguku.

"Aku akan cerita," kataku berusaha tegar. "Tolong jangan disela. Aku akan cerita semua rahasiaku pada kalian."

Mengapa aku menyebutnya rahasia? Karena tidak seorang pun tahu—kecuali Suga—bahwa keluargaku dalam keadaan susah. Aku terus menyimpan fakta ini seorang diri. Aku tidak pernah berbagi perasaan kelam ini pada orang lain, termasuk sahabatku sendiri.

"Beberapa bulan setelah wisuda, Mama divonis dokter mengidap kanker payudara stadium 2. Sejak saat itu aku dan keluargaku tinggal di Rumah Sakit dan jarang pulang ke rumah," aku menundukkan kepala, tanganku bergetar hebat. "Aku, kakak, dan Papa bekerja keras mencari uang untuk biaya pengobatan Mama."

Aku melirik Irene sekilas dan jelas terlihat bahwa sahabatku itu sangat terkejut. Sudah lama aku mengenal Irene dan selama hampir 2 tahun, aku menyimpan rahasia ini sendirian.

"Karena itu aku mengejar cita-cita untuk jadi penyanyi. Itu hobiku dan salah satu cara untuk mendapat uang," lanjutku bercerita. "Tapi aku nggak pernah lolos satu pun audisi, aku makin sedih karena aku sama sekali nggak berguna untuk Mama."

Air mataku menetes. Hatiku lemah setiap kali aku mengingat kembali perjuangan yang pernah kulakukan. Masa-masa kelam, di mana segala hal tidak ada yang pasti. Baik karirku maupun kesembuhan Mama.

"Lalu kamu mendapat tawaran menjadi model. Aku memintamu menjadi model karena aku nggak mau kamu menungguku lebih lama lagi. Aku ingin kamu mengambil kesempatan yang ada," jelasku kemudian menatap Irene dengan tatapan bersalah.

Irene juga menangis. Apa itu berarti Irene paham apa maksudku? Sebagai sahabat, apa yang Irene pikirkan tentang diriku yang sekarang?

"Tapi sekarang, keluarga kami sudah baik-baik saja. Minggu lalu, Mama dan Papa sudah berangkat ke Belanda untuk pengobatan kanker. Aku sudah tinggal di rumahku sendiri bersama kakak," ujarku sambil tersenyum.

Aku memang sudah baik-baik saja. Tidak ada lagi alasan untukku melarikan diri setiap kali aku merasa kehilangan motivasi. Karena itu apapun tanggapan Irene dan Mark setelah ini, aku harus menerimanya.

"Wendy, kamu tega sekali," kata Irene yang memandangku tidak percaya. "Kenapa kamu diam saja? Aku bisa membantu juga, 'kan?"

Aku menggeleng. "Aku nggak mau kamu khawatir sama aku, Irene. Kamu nggak perlu membantu keluargaku—"

"Bukan keluargamu yang ingin kubantu, tapi kamu," ujar Irene tegas. "Kalau keadaanmu mendesak seperti itu, aku bisa memaksa editorku untuk memasukkanmu ke perusahaan rekaman, 'kan? Apa di matamu aku juga nggak berguna?"

Salah, semua ini salah. Aku sama sekali tidak menyangka Irene akan berpikir seperti ini. Aku menatap Mark yang juga menunjukkan ekspresi serupa dengan Irene.

"Kalian berdua sudah banyak membantuku," ucapku berusaha meyakinkan Irene dan Mark. "Tanpa kalian, aku nggak akan berdiri di atas panggung Café Hometown dan bernyanyi."

Mark menggeleng. "Keadaan nggak akan seperti ini kalau kamu cerita lebih awal, Wendy. Apa kamu sadar kalau kamu sudah memanfaatkan kepercayaan kami padamu?"

Memanfaatkan? Apa benar seperti itu? Aku tidak tahu, aku tidak bisa berpikir. Kenapa semuanya menjadi rumit? Kenapa mereka tidak mengerti apa yang kurasakan?

"Sudah berapa kali kamu bohong padaku, Wendy?" tanya Irene sambil terisak. "Apa alasanmu menghilang dan nggak menjawab panggilan kami, itu karena kondisi Mama kamu kritis?"

Bagaimana cara meredakan amarah orang yang selama ini selalu sabar? Bagaimana cara mengembalikan kepercayaan orang yang sudah kubuat kecewa? Masalahku kian bertambah.

"Kamu nggak mau membuatku khawatir? Justru dengan merahasiakannya dariku, kamu membuatku semakin khawatir," sambung Irene.

Aku menghela napas, air mataku semakin deras. "Maafkan aku, Irene."

Tanganku baru saja menggenggam tangan Irene, tapi sahabatku itu menepisnya dengan cepat. Irene menutup matanya dengan dua tangan, seakan ia tidak mau melihatku lagi.

"Mark," aku beralih menggenggam tangan Mark tapi dia sama sekali tidak merespon balik. Tangan Mark terasa dingin, seperti es yang sudah tidak bisa aku hangatkan dengan tenagaku sendiri.

Aku sudah tidak tahan. Aku berdiri dari kursi dan berlari menuju pintu Café Hometown. Aku ingin pulang. Aku ingin lari dari semua masalah ini.

"Wendy, tunggu!" seru Mark dari tempatnya.

Tapi setelah aku keluar dari Café Hometown, Mark tidak mengejarku. Irene juga tetap menangis di kursinya. Aku sempat berharap mereka akan mencegahku pulang tapi ternyata itu tidak terjadi.

Aku berlari, berlari menuju arah rumahku. Aku benar-benar pengecut, orang sepertiku tidak pantas ada di tengah masyarakat.

Apa yang harus kulakukan mulai sekarang? Kalau Irene dan Mark tetap mengabaikanku seperti tadi, maka aku akan benar-benar sendirian. Tidak ada orang yang bisa kuandalkan lagi.

Lututku benar-benar lemas dan aku jatuh tersungkur di jalan. Sekarang sudah bukan musim dingin, tidak ada salju yang turun untuk menyembunyikanku dari dunia.

Aku takut kembali ke Café Hometown. Aku takut bertemu dengan Irene dan Mark. Aku takut menyakiti mereka lagi meski aku akan dimaafkan.

Dan tepat saat aku merasa putus asa untuk kesekian kalinya, ponselku berdering, memberiku harapan jika persahabatanku dengan Irene mungkin bisa kembali.

Tapi ternyata tidak, karena setelah aku membaca tulisan di layar, aku kembali jadi seorang pengecut yang berhasil menemukan tempat untuk lari.

Incoming call from Suga.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang