69

808 183 48
                                    

[ SUGA ]

Apa yang kupikirkan selama perjalanan menuju rumah Wendy adalah bagaimana cara membahagiakan perempuan itu. Dan begitu sampai di depan pagar rumahnya, yang kutakutkan adalah bagaimana jika ini adalah kesempatan terakhirku.

Aku harus fokus. Aku tidak boleh gugup, aku harus tetap tenang.

Dengan berani, aku menekan bel rumah Wendy. Kuperhatikan bentuk bangunan yang saat ini ada di hadapanku. Rumah sederhana berlantai dua yang berjarak cukup jauh dari pusat Kota Seoul.

Beberapa detik kemudian, seorang perempuan yang bukan Wendy keluar dari balik pintu untuk membuka pagar. Dia pasti kakak perempuan Wendy. Dan dilihat dari bagaimana ia masih memakai pakaian formal, dia pasti baru pulang kerja.

"Dengan siapa dan cari siapa?" tanya kakak Wendy sambil memperhatikanku.

Setelah menelan ludahku sendiri, aku menjawab, "Selamat malam, saya Suga. Saya mencari Wendy."

Bukannya kembali ke dalam rumah untuk memanggil Wendy, sang kakak melihat jam yang ada di tangannya. Dengan kening berkerut, dia berkata, "Wendy belum kembali sejak satu jam yang lalu. Apa kalian sudah ada janji untuk bertemu?"

Aku menggelengkan kepala. Aku saja datang kemari karena alamat yang diberikan Irene, setelah pernyataanku yang memalukan. "Apa kakak tidak tahu Wendy ada di mana?"

Anehnya, kakak Wendy tersenyum lebar. "Ah, barusan kamu memanggilku 'kakak'! Berarti kamu teman Wendy, ya?"

Kali ini aku mengangguk. "Iya, Kak. Saya teman Wendy."

"Kenapa nggak bilang daritadi?" bahu kakak Wendy yang semula kaku sekarang sudah lebih lemas. "Kalau Wendy, dia ada di taman komplek perumahan kami. Dari sini kamu lurus saja lalu belok kanan, oke?"

Jadi seperti ini rasanya diberi kepercayaan dari orang lain. Entah bagaimana aku menjelaskan ini, tapi aku seperti mendapat dukungan.

Setelah pamit pada kakak Wendy, aku kembali ke dalam mobil dan pergi menuju taman yang diberitahu oleh kakak Wendy. Dan, bingo! Aku menemukan Wendy yang sedang membaca buku sambil duduk di salah satu ayunan.

Kehadiranku tentu saja disadari oleh Wendy. Perempuan itu dengan cepat menutup bukunya dan berdiri dari ayunan.

Kakiku yang tegap berjalanan keluar dari mobil dan datang menghampiri Wendy. Dia terlalu kurus. Sudah berapa hari dia tidak makan?

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Wendy dengan tatapan penuh tanya.

Ya, aku tahu seharusnya aku tidak ada di sini. Aku adalah laki-laki yang menyebabkan hubungan antara Wendy dan Mark rusak. Aku yang terlambat membawa Wendy ke Café Hometown dan tidak berusaha menjelaskan situasi yang lengkap pada Mark.

"Aku disuruh Irene datang ke sini," jawabku berbohong. Maaf, Wendy. Aku hanya ingin melihat kondisimu.

"Hanya itu saja?" tanya Wendy, kali ini cara bicaranya lebih tegas. "Kamu nggak usah repot-repot datang ke sini hanya karena disuruh Irene—"

"Aku ingin bertemu denganmu," sahutku yang sudah tidak bisa menahan diri. "Aku khawatir padamu. Itu alasanku yang lain."

Sudah berapa kali aku menyatakan isi hatiku yang sesungguhnya pada orang lain? Pertama, pada Irene. Kedua, pada Wendy. Jangan sampai setelah ini aku mengakui kegalauanku pada Namjoon, Taehyung, dan Hoseok.

"Kamu nggak perlu khawatir, aku baik-baik saja," ujar Wendy sambil tersenyum tipis. "Seperti yang kamu lihat, saat ini aku sedang menikmati hidup. Aku juga senang bisa kembali tinggal di rumah karena selama ini aku selalu tidur di Rumah Sakit."

Entah darimana aku mendapat keberanian untuk membuang buku Wendy ke tanah dan menggenggam jemari tangan Wendy. Apa ini cukup untuk memberitahumu, bahwa aku khawatir dengan apapun yang akan kamu lakukan?

"Ada pesan dari Irene untukmu," kataku pelan. "Kata Irene, jangan menyerah lagi. Karena Irene akan mengabulkan permintaanmu, mulai hari ini."

Jujur, aku tidak mengerti maksud dari pesan yang dititipkan Irene padaku. Tapi aku penasaran dengan reaksi Wendy. Dan di luar dugaanku, Wendy menangis tanpa bersuara.

Aku segera melepas genggamanku pada Wendy dan menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal. Apa yang harus kulakukan setelah ini? Apa aku sudah kehilangan kesempatanku?

"Syukurlah," ucap Wendy dengan senyuman yang aku suka. Kemudian dia menatapku dan berkata, "Terima kasih, Suga."

Izinkan aku untuk berpikir ulang. Sepertinya kesempatan terakhirku masih ada. "Sama-sama. Apa kamu mau ke mobilku? Aku membelikan makanan untukmu."

Tentu saja aku tidak melupakan saran dari Irene untuk pergi menemui Wendy sambil membawa makanan. Karena itu tadi di tengah perjalanan, aku membeli sebungkus nasi Thailand untuknya.

"Aku belum punya nafus makan," jawab Wendy begitu polos.

"Nggak boleh, kamu harus makan. Perasaanmu sudah jauh lebih baik, 'kan?" tanyaku memastikan.

Wendy tertawa kecil. "Hmm, sedikit lagi."

Hah? Apa maksud Wendy dengan 'sedikit lagi'? Apa dia menyuruhku untuk menunggu sebentar? Atau perasannya akan menjadi lebih baik jika kulakukan sesuatu, sedikit lagi? Ah, aku pusing. Masa bodohlah, aku akan melakukan apa yang ingin kulakukan.

Aku merentangkan tangan begitu lebar di hadapan Wendy. "Kalau kamu mau, kamu boleh peluk aku. Dengan begitu, perasaanmu akan jadi lebih baik, 'kan?"

Tolong, tolong, tolong! Ini benar-benar memalukan, Wendy pasti akan menganggap aku sebagai orang aneh. Aku berteriak dalam hati, tapi di luar, aku berusaha tetap memasang wajah datar.

"Apa ini semacam penandatanganan kontrak?" tanya Wendy sambil tersenyum usil. Dan aku bersumpah, Wendy terlihat menggemaskan.

"Terserah kamu saja, lah!" seruku berusaha menahan malu. "Ini baru awal, Wendy. Kalau kamu masuk perusahaanku, kamu akan kubuat jauh lebih bahagia dari sekarang."

Ya, sudah kukatakan. Aku sudah melepas semua isi hatiku dan membiarkan Wendy mendengarnya dari bibirku sendiri. Aku, seorang produser jenius yang membawa imej dingin dari Daegu, bisa berubah total saat berhadapan dengan perempuan yang aku suka.

Dan bersamaan dengan detak jantungku yang tidak karuan, Wendy memelukku begitu erat, membenamkan kepala di dadaku, dan membiarkanku menghangatkannya.

Kelopak bunga jatuh dari atas, mendarat di rambut Wendy yang berwarna cokelat setengah pirang. Melalui tangan Wendy yang ada di punggungku, aku sadar bahwa Wendy memelukku sambil memikirkan Mark.

Ini adalah cinta pertamaku. Yang tidak pernah aku sangka bahwa perempuan yang kusukai justru menyukai orang lain dan memilih berpisah dari orang itu. Tapi takdir memberiku kesempatan padaku untuk membahagiakan perempuan ini.

Bersamaku, Wendy bisa meraih impiannya menjadi penyanyi. Dan bersama Wendy, aku bisa melalui hari-hari menyenangkan yang bisa dimulai hanya dari suara tawanya saja.

Meski aku harus rela dijadikan tempat pelarian oleh Wendy yang masih mencintai Mark.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang