16

1.1K 240 35
                                    

[ MARK ]

Memiliki pribadi yang introvert itu cukup sulit.

Sebagian orang mungkin tidak akan mengerti apa yang kurasakan saat ini. Ada saat di mana aku ingin berbicara dengan leluasa tanpa memikirkan pendapat orang lain tentangku, tapi aku tidak bisa.

Meski memiliki pemikiran yang dalam akan suatu hal, selalu saja aku tidak percaya diri untuk membicarakannya. Selalu saja aku berpikir bahwa akan lebih baik jika aku tidak bicara.

Dan saat bibir sudah tidak bisa dipaksa bicara, maka otakku memerintah bagian tubuhku yang lain untuk melaksanakan tugas.

Mungkin itulah yang kemarin membuatku berani menyentuh pipi Wendy. Iya, silakan katakan aku gila. Aku sendiri juga tidak tahu mengapa aku melakukan hal seperti itu.

Memang, hal seperti kontak fisik sudah biasa terjadi di antara remaja Los Angeles—tempatku berasal. Tapi tentu Wendy tidak terbiasa.

"Oi, Mark," panggil Jackson yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahku. Jarinya menunjuk ke arah pintu Café Hometown. "Itu Wendy."

Apa aku sudah bilang bahwa jantungku selalu berdegub lebih cepat saat sore hari tiba? Karena setiap Hari Jumat dan Sabtu, Wendy akan datang ke Café Hometown.

Seperti sekarang. Wendy dengan rambut panjangnya yang terurai masuk ke dalam Café Hometown dengan wajah bersinar. Wendy memakai kemeja bermotif garis yang senada dengan celana jeans hitamnya.

Dan tanpa kusadari, aku menatap Wendy terlalu serius hingga Wendy mengalihkan pandangannya dan berjalan lurus menuju panggung.

Gawat, sepertinya Wendy membuat tembok tidak kasat mata di antara kami. Pasti karena kemarin aku sudah menyentuhnya sembarangan. Kami jadi sangat canggung.

"Ada apa di antara kalian berdua?" tanya Jackson penasaran.

Aku menggeleng putus asa. "Sepertinya Wendy menghindariku."

Jackson memukul bahuku pelan. "Mark, aku tahu kamu benar-benar tertarik pada Wendy. Tapi perempuan manapun pasti akan jadi seperti Wendy setelah disentuh olehmu."

"Hah?" gumamku tidak mengerti. "Maksudmu?"

Jackson tersenyum penuh arti. "Yah, masa kamu tidak paham!"

Aku menggeleng cepat. "Maksudmu apa, Jackson? Apa Wendy takut padaku?"

"Justru bukan takut," jawab Jackson sedikit kesal. "Dia pasti sudah jatuh cinta padamu!"

Halo? Ini Jackson ngomong apa, ya? Mana ada perempuan yang jatuh cinta karena sudah disentuh oleh laki-laki? Apa lagi jika laki-laki itu adalah diriku.

"Aku tidak yakin," balasku. "Memangnya apa yang menarik dariku?"

Jackson terkekeh. "Kamu bikin aku kesal, saja. Kamu justru punya segalanya! Wajah tampan, tubuh oke, uang berlimpah, datang dari Los Angeles pula."

Aku tidak ingin menonjok seseorang, tapi perkataan Jackson membuatku sakit hati.

Semua yang dikatakan Jackson memang benar, tapi itu bukan sesuatu yang aku dapatkan dari kerja kerasku. Wajah, tubuh, uang, dan latar belakang ini semuanya kuperoleh dari orang tuaku.

Jika Wendy memang jatuh cinta padaku, aku ingin dia mencintaiku apa adanya, bukan karena apa yang kudapat dari orang tuaku.

Maaf, aku egois. Maaf, aku tidak bersyukur. Aku hanya ingin terlihat apa adanya. Kalau Wendy tidak mencintaiku, tidak apa-apa. Tapi setidaknya aku ingin berteman dengannya.

Sambil menunggu Wendy menyelesaikan penampilannya, aku berlatih membuat Seoul Latte yang enak. Seoul Latte adalah satu-satunya menu di Café Hometown yang bisa kubuat. Dan aku membuatnya untuk menyenangkan hati Wendy.

Aku rasa Wendy memiliki berbagai macam masalah dalam hidupnya. Dan jika Seoul Latte buatanku bisa membuatnya tenang, maka itu sudah cukup.

Aku harus minta maaf pada Wendy setelah ini. Aku harus minta maaf karena sudah menyentuh pipinya sembarangan. Apa jangan-jangan Wendy sudah memiliki pacar?

Dua jam kemudian, Wendy turun dari panggung dan menunggu di meja yang biasa ia tempati setelah bernyanyi. Aku menyiapkan senyuman terbaikku dan juga segelas Seoul Latte untuknya.

"Hai, Wendy," sapaku berusaha ramah. "Ini Seoul Latte untukmu."

Wendy tidak menjawab apapun dan akhirnya aku duduk di hadapannya. Wendy masih enggan menatapku, tapi tangannya bergerak untuk meraih gelas minumannya.

"Aku minta maaf," kataku cepat. "Kamu pasti tidak nyaman saat aku menyentuh pipimu."

Di luar dugaan, mata Wendy membulat sempurna. Wendy segera menghentikan aktivitasnya. "Apa maksudmu, Mark?"

Ya Tuhan, suara Wendy saat memanggil namaku benar-benar memabukkan. Aku bersumpah, aku tidak akan pernah bosan mendengar Wendy memanggil namaku meski ia akan melakukannya jutaan kali.

"Kamu menghindariku, kan?" lanjutku bertanya. "Aku pikir kamu sudah punya pacar, jadi pasti tidak nyaman saat aku menyentuh pipimu kemarin."

Wendy menggeleng cepat. "Bukan! Aku menghindarimu bukan karena itu."

"Lalu?" tanyaku sedikit memaksa. Rupanya benar Wendy menghindariku.

Wendy mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. Esaiku. Jadi Wendy sudah membacanya. Apa Wendy merasa kasihan padaku setelah membaca isi esaiku?

"Sudah kubaca kemarin," ujar Wendy pelan. "Aku merasa aneh saat membaca esaimu. Dan kupikir, sepertinya kita—"

"Mirip," sambungku lalu tanpa sadar aku tersenyum. "Iya, Wendy. Kupikir kita memang mirip. Kadang saat melihatmu, aku jadi teringat masa laluku."

Mata Wendy mulai berkaca-kaca. "Maafkan aku."

"Kamu tidak perlu minta maaf," sambungku. Saat aku mengalihkan pandanganku ke sekeliling Café Hometown, orang-orang mulai panik karena badai salju. "Sepertinya kamu tidak bisa segera pulang, ya."

Wendy mengangguk. "Agak dingin, ya."

Januari memang puncak dari musim salju di mana salju akan turun sangat deras dan lebih parah lagi, bisa berupa badai. Entah darimana aku dapat ide untuk membuka penyewaan selimut di Café Hometown.

Wendy sudah menghabiskan Seoul Latte-nya. Dan saat aku hendak bertanya bagaimana pendapat Wendy tentang Seoul Latte buatanku, Wendy justru menatapku sambil tersenyum.

"Aku belum punya pacar, kok," ucap Wendy dengan mata berbinar dan pipi merona.

Cinta memang buta dan menurutku, cinta juga bisa membuat seseorang menjadi gila. Seperti sekarang, tanganku mulai bergerak untuk menggenggam tangan Wendy.

Setelah itu ada setan yang merasuki diriku dan membuatku berkata, "Kamu mau ke kamarku? Di sana lebih hangat."

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang