19

1K 231 15
                                    

[ IRENE ]

Apa itu cinta?

Selama ini aku bertanya-tanya, bagaimana dua manusia bisa tahu bahwa mereka ditakdirkan untuk bersama?

Dari mana cinta berasal? Dari persahabatan, kah?

Aku dan Wendy sudah menjadi sahabat selama lebih dari 5 tahun. Aku merasa senang, nyaman, dan bahagia jika bersama Wendy.

Apa itu bisa disebut cinta?

Wendy sering bilang padaku bahwa banyak laki-laki ingin mengenal diriku. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang mendekatkan diri padaku terlebih dahulu. Mereka hanya berani menatapku dari jauh seakan aku adalah patung indah yang dipajang di museum kota.

Aku jadi bingung. Sebenarnya apa yang salah dari diriku?

"Kamu tidak salah apa-apa, Irene," ujar Mark yang sedari tadi sudah mendengarkanku bercerita. "Kalau pun ada, mungkin kesalahan terbesarmu adalah kecantikanmu."

Aku tertawa kecil. "Aduh, maaf, ya. Aku memang sejak lahir seperti ini."

Hari ini aku mendapat jadwal pemotretan pada pukul satu siang, karena itu aku memutuskan untuk mampir ke Café Hometown untuk makan siang.

"Ini saja cukup?" tanya Mark sambil menatap pesananku. "Creamy Daegu and Jeonju Salad?"

Aku mengangguk cepat. "Aku harus memperhatikan kalori saat makan. Karena aku seorang model."

Mark hanya tersenyum. Memang menyedihkan, sejak mengambil pekerjaan sebagai model, aku harus mengubah pola makanku. Juga merawat kulit dan berlatih cara berjalan yang elegant.

"Aku sudah bertanya pada Wendy tentang impian lamanya," cerita Mark padaku. "Sangat disayangkan kalau Wendy hanya bernyanyi di tempat seperti Café Hometown."

"Aku juga berpikir begitu," sahutku. "Tapi sebagai sahabat, sekarang aku hanya bisa mendukungnya."

"Kenapa hanya mendukung Wendy?" tanya Mark bingung. "Apa kamu tidak punya waktu untuk membantunya?"

Aku menggeleng. "Bukan itu. Aku tidak bisa memberinya solusi lagi. Aku tidak ingin Wendy sakit hati lagi."

Saat kita ditolak, ada banyak hal yang bisa hilang dari kita. Kepercayaan diri, keyakinan, harapan, semua itu akan terkikis. Pada akhirnya kita hanya akan dihadapi dengan dua jalan. Meneruskan atau berhenti.

Aku ingin Wendy berhenti menyakiti dirinya sendiri. Orang-orang bodoh di luar sana tidak pantas mendapat Wendy yang sangat baik dan berbakat. Kalau Wendy bahagia dengan keadaan sekarang, maka itu lebih dari cukup.

"Irene, kurasa aku mengerti apa yang dirasakan Wendy," lanjut Mark. "Dan kamu perlu meminta Wendy untuk mengikuti audisi atau mengunjungi perusahaan rekaman lagi."

Aku menatap Mark heran. "Kamu mengerti apa yang dirasakan Wendy?"

Mark mengangguk. "Dulu, aku ingin menjadi aktor Hollywood. Tapi aku selalu ditolak saat audisi yang akhirnya membuatku melarikan diri ke Seoul."

Melarikan diri. Aku lupa bahwa orang yang sudah putus asa pada akhirnya bisa melarikan diri juga. Aku tidak ingin Wendy melarikan diri, aku ingin Wendy tetap bernyanyi. Aku ingin Wendy berdiri di panggung besar, disaksikan jutaan orang, dan menunjukkan dirinya yang sejati.

"Aku juga merasa kalau Wendy cukup introvert," ujar Mark. "Sangat sulit untuk Wendy mengeluarkan semua isi hatinya pada seseorang, tapi aku yakin kamu bisa."

Benarkah? Benarkah selama ini Wendy menyembunyikan sesuatu dariku?

"Bagaimana kalau Wendy marah padaku karena aku bertanya yang bukan-bukan?" tanyaku khawatir. "Aku rasa sekarang Wendy sudah baik-baik saja."

Mark tersenyum. "Aku akan membantumu, Irene. Aku juga ingin menyelamatkan Wendy."

Menyelamatkan. Entah mengapa mendengar kata itu membuatku berpikir bahwa Wendy sekarang sedang menderita.

Aku tidak ingin berpikiran buruk, tapi aku juga tidak ingin menjadi sahabat yang tidak mengetahui apa masalah yang dihadapi Wendy saat ini.

Tiba-tiba ponselku bergetar, menampilkan pesan masuk dari manajerku. Dia mengingatkanku tentang pemotretan yang akan dimulai setengah jam lagi.

"Aku harus pergi sekarang. Manajerku sudah menungguku," kataku pada Mark.

"Kamu sudah bayar, 'kan? Jangan kabur kalau kamu belum bayar," goda Mark dengan gaya yang sedikit menyebalkan.

"Aku sudah bayar!" jawabku diikuti tawa dari Mark.

"Anak baik," puji Mark kemudian dia bangkit berdiri sambil tersenyum padaku. "Ayo!"

Aku bingung. "Ayo ke mana?"

"Ke tempat kerjamu," jawab Mark santai. "Kata Jaebum, tempat kerjamu dekat dari sini, 'kan? Ayo kuantar."

Hah? Serius? Untuk pergi ke tempat pemotretan yang jaraknya 200 meter saja Mark mau mengantarku? Itu sama saja dengan menghabiskan tenaga dan waktu.

"Tidak usah, aku bisa pergi sendiri," tolakku secara halus.

"Kenapa? Aku juga sekalian ingin pergi," sahut Mark sambil menatap jalanan yang berada di balik jendela Café Hometown.

"Harusnya kamu bilang kalau kamu mau pergi juga!" balasku sedikit kesal. "Ya sudah, ayo berangkat. Aku bisa dimarahi manajer kalau aku terlambat."

Kami langsung pergi bersama-sama dari Café Hometown, menyelusuri jalan yang mengarah ke tempat pemotretanku. Bukan hanya mengantarku sampai pintu, Mark juga mengantarku sampai aku berhadapan dengan manajerku.

"Sampai jumpa lagi, Irene," ujar Mark sambil tersenyum. Aku yakin semua yang melihat senyum Mark langsung tahu bahwa Mark memiliki modal yang bagus untuk menjadi seorang model.

"Terima kasih sudah mengantarku," balasku juga sambil tersenyum. "Kalau kamu keluar dan belok kiri, ada taman besar. Di sana air mancurnya bagus."

Mark yang menerima rekomendasi tempat dariku justru menggeleng. "Aku mau langsung kembali ke Café Hometown saja. Aku sudah puas dengan hanya mengantarmu, Irene."

Setelah berkata seperti itu, Mark pamit pergi dan keluar dari studio foto. Saat menatap punggung Mark, aku sadar bahwa ini pertama kalinya ada laki-laki yang mau mendekatkan diri denganku terlebih dahulu.

"Irene, dia pacarmu?" tanya manajerku penasaran. "Keren banget! Ternyata selera kamu tinggi juga!"

Aku menghela napas. "Dia bukan pacarku."

Dan pipiku dicubit oleh manajerku. "Ah, aku tidak percaya. Soalnya pipimu merah saat menatapnya pergi."

Hah? Apa katanya tadi? Pipiku merah?

Aku tidak mungkin jatuh cinta pada Mark, 'kan?

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang