[ MARK ]
Ini adalah Hari Sabtu di mana aku bisa melihat Wendy bernyanyi di Café Hometown.
Ada kebahagiaan tersendiri di dalam hatiku saat menghabiskan waktu yang berkualitas bersama Wendy.
Meski pada akhirnya aku harus banyak bicara di depan Wendy dalam rangka membuat perempuan itu mau bercerita tentang dirinya juga.
Benar-benar memalukan. Imej pendiam dan tenang yang sudah melekat pada diriku luntur seketika saat berhadapan dengan Wendy. Dan kalian tahu? Para pekerja di Café Hometown selalu menggodaku tentang Wendy.
Is it just our bodies?
Are we both losing our minds?
Is the only reason you're holding me tonight
'Cause we're scared to be lonely?
Eh, eh, scared to be lonely
.........................................."Tuh, Mark!" bisik Youngjae yang berdiri di belakang. "Barusan lagu terakhir. Cepat samperin!"
Sudah menjadi aturan di Café Hometown bahwa satu-satunya orang yang boleh membuatkan Seoul Latte untuk Wendy adalah aku. Dan sudah menjadi aturan juga bahwa aku juga satu-satunya orang yang boleh memberikan minuman itu pada Wendy.
Dengan langkah tegap, aku berjalan menuju meja yang biasa ditempati Wendy setelah selesai bernyanyi. Perempuan itu masih memasukkan gitarnya ke dalam tas.
"Hai, Mark," sapanya riang, suaranya sangat merdu.
Aku tersenyum sangat lebar setelah meletakkan minuman di mejanya. "Segelas Seoul Latte untukmu."
"Terima kasih," ujar Wendy kemudian kami sama-sama duduk di kursi dan saling berhadapan.
Wendy selalu meneguk habis Seoul Latte favoritnya. Sambil menunggu, aku memperhatikan wajah Wendy yang tidak pernah bosan kupandang. Lalu aku menyadari satu hal.
"Kamu memotong ponimu?" tanyaku sambil menunjuk bagian rambut yang menutupi dahinya.
Wendy menatapaku dengan mata yang membulat. "Kamu sadar? Iya, aku sempat ke salon sebelum pergi ke sini."
Rambut Wendy bercampur antara warna cokelat dan pirang. Riasan yang dipakai Wendy selalu tipis dan bajunya selalu bermodel vintage. Dia sangat berbeda dengan perempuan yang pernah kutemui.
"Ngomong-ngomong soal salon, aku tidak tahu di mana salon murah di dekat sini," ujarku sewajar mungkin. "Kamu ada rekomendasi?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, Wendy justru kembali bertanya padaku, "Sudah berapa lama kamu di Seoul? Salon terdekat aja kamu tidak tahu?"
"Yah, hampir sebulan, sih. Lagipula tujuanku ke Seoul itu bekerja, bukan jalan-jalan!" kataku dengan nada sebal. "Jalan-jalanpun aku tidak tahu harus mengajak siapa. Semua di sini sibuk bekerja."
Wendy mengibaskan rambutnya ke belakang bahu dan aku berani bersumpah, itu gerakan tersexy yang pernah kulihat. Seandainya ada kamera dan aku bisa merekam adegan barusan sekali lagi.
"Hmm, kalau begitu bagaimana kalau kita bertukar nomor telepon? Kalau aku ada waktu senggang, aku akan menemanimu jalan-jalan," kata Wendy santai.
Aku tidak mimpi, kan? Wendy meminta nomor teleponku? Dan Wendy meminta nomor teleponku atas dasar keinginannya sendiri, bukan permintaanku!
Well, well, menjadi bawel ternyata ada hasilnya juga.
"Oke, ayo kita tukar nomor telepon," balasku kemudian kami menukar ponsel masing-masing untuk menyimpan nomor telepon.
Dua menit kemudian setelah mengembalikan ponselku, Wendy berkata, "Ayo lanjutkan ceritamu yang kemarin!"
Oh, ya. Mungkin ini tidak sengaja, tapi kemarin Wendy memintaku menceritakan banyak hal tentang audisi yang pernah kuikuti.
Ingin sekali aku berkata pada Wendy bahwa mengingat-ingat masa lalu sebenarnya cukup menyakitkan bagiku. Tapi demi Wendy, aku akan bercerita banyak.
"Ada satu audisi yang pernah membuatku berlatih selama berhari-hari tanpa makan," kataku mulai bercerita. "Di cerita itu aku ingin memerankan tokoh laki-laki yang bertahan hidup dari sebuah gempa bumi."
Wendy tersenyum. "Tokoh sampingan juga, ya?"
Aku menggerutu. "Iyalah! Di akhir cerita, aku akan mati. Tapi tokoh utamanya tidak."
Dan aku berhasil membuat Wendy tertawa. Ah, seandainya aku membawa perekam. Aku ingin merekam suara tawa Wendy dan menjadikannya alarm pagiku.
"Sudah, sudah. Berhenti," ujarku berusaha menghentikan Wendy yang tertawa.
"Lucu sekali," ujar Wendy sambil tersenyum. "Untuk apa kamu memilih peran yang pada akhirnya kamu akan mati juga di film itu?"
Aku menghela napas. "Sebenarnya, aku tidak peduli dengan apapun peran yang kudapatkan. Aku hanya ingin bermain di film yang memiliki jalan cerita bagus."
Mungkin itulah salah satu kesalahanku dalam mengejar mimpi menjadi aktor Hollywood. Terkadang aku terlalu memilih-milih cerita hingga peran yang seharusnya bisa kudapatkan terlewatkan begitu saja.
Tapi jika kalian menjadi aku, apa kalian mau mengambil peran sebagai salah satu orang mabuk di dalam klub malam? Atau orang yang sakit jiwa dan haus akan kegiatan seksual? Perannya saja sudah tidak benar, apalagi ceritanya.
"Mark, kurasa kamu benar kemarin. Kamu memang jenius," puji Wendy.
Aku tersenyum bangga. "Sudah kubilang, 'kan? Aku memang jenius—"
"Dan kurasa kamu cocok menjadi penulis naskah," sambung Wendy kali ini dengan nada serius.
Penulis naskah?
Jujur, tidak pernah sekalipun aku berpikir bahwa aku bisa menjadi seorang penulis naskah. Orang yang menulis cerita yang akan dijadikan drama, film, atau tontonan lainnya. Memangnya apa yang dimiliki diriku hingga Wendy berkata bahwa aku cocok menjadi penulis naskah?
Tepat saat aku ingin bertanya pada Wendy, sebuah berita yang tayang di televisi berhasil membuat perhatianku teralih.
"Badai salju sedang turun deras di seluruh Kota Seoul. Diperkirakan badai salju baru akan berhenti sekitar jam 3 pagi. Masyarakat diharap segera menghangatkan diri di dalam rumah,"
Tanpa kusadari, di dalam Café Hometown sudah sangat sepi, hanya tersisa aku dan Wendy, bersama pegawai lain yang sedang merapikan peralatan.
Wajah Wendy berubah pucat. "Gawat, aku tidak bisa pulang."
Di luar, badai salju turun sangat deras dan aku tidak yakin bisa mengantar Wendy dengan mobil. Aku tidak ingin mengecewakan Wendy, tapi aku tidak bisa memikirkan cara lain.
Lalu aku menawarkan Wendy sebuah pilihan yang cukup gila, yang mungkin bisa membuat imej pendiam dan tenang yang ada padaku, hilang selamanya.
"Apa kamu mau menginap di sini?"

KAMU SEDANG MEMBACA
After the Concert ✔️
Fanfiction[ COMPLETED ] Semua dimulai setelah konser, di mana Mark melihat Wendy bernyanyi di café miliknya. Ini kisah tentang empat manusia yang berusaha hidup di tengah kerasnya Kota Seoul. Empat manusia yang bertemu secara tidak sengaja dan terbelit jalin...