74

939 187 20
                                    

[ 9 BULAN KEMUDIAN ; SUGA ]

Menyedihkan sekali di Hari Natal seperti ini, aku malah tidak bisa ada di dekat orang yang aku cinta.

Justru di peristiwa sekali dalam satu tahun ini, laki-laki maupun perempuan akan menghabiskan waktu dengan orang yang mereka cinta. Entah itu keluarga, pacar, atau sahabat.

Lihatlah diriku sekarang. Sendirian di backstage Olympic Hall dan Wendy meninggalkanku begitu saja. Perempuan itu sudah pergi bersama panitia acara menuju panggung. Dan kalian tahu? Aku dilarang oleh Wendy untuk menemaninya!

Apa salah jika aku menyatakan perasaan pada Wendy? Sebenarnya aku sudah muak. 9 bulan kami sudah bekerja bersama dan dia sama sekali tidak peka dengan perhatian lebih yang kuberikan.

Iya, aku tahu, bagi Wendy saat ini karir adalah yang terpenting. Tapi aku juga sudah berusaha menyampaikan perasaanku. Aku sudah pernah membawa Wendy makan bersama, berbelanja bersama, bertemu dengan orang tuaku, dan memberitahu semua rahasiaku.

Hasilnya? Nihil. Tidak ada tanda-tanda Wendy menyukaiku kembali.

Justru saat aku menyatakan perasaan padanya beberapa hari lalu, Wendy malah memintaku untuk menjauh darinya.

Oh, shit. Kenapa juga aku bisa cinta sama perempuan seperti dia.

Bersamaan dengan jam tanganku yang berbunyi sebagai tanda pergantian jam, pintu diketuk oleh seseorang yang sudah membuat janji denganku melalui telepon, beberapa menit lalu.

"Masuklah, Irene," ujarku mempersilakan dengan tubuhku yang masih bersantai di sofa.

Tebak siapa yang datang menemuiku. Sang supermodel, Bae Irene. Ralat, dia datang bersama pacarnya. Mark Tuan sang asisten penulis naskah sekaligus orang yang menjadi cinta Wendy.

"Kami permisi, ya!" kata Irene sambil tersenyum setelah membuka pintu. Mark Tuan mengikuti dari belakang dengan tumpukan kertas yang dibawa olehnya.

Setelah pintu tertutup sempurna, aku menatap Irene dengan raut wajah sedih. Irene dan Mark yang menyadari perubahan ekspresiku langsung terheran.

"Suga, ada apa lagi, sih?" tanya Irene mengambil duduk di sofa seberangku. "Di telepon tadi kamu minta tolong sama aku, 'kan?"

Kemudian Mark yang sudah duduk juga menyahut, "Kalau kamu sedang sibuk, kami bisa pergi."

Aku menggelengkan kepala. "Kalian jangan pergi, ya? Aku benar-benar butuh teman curhat sekarang."

Mungkin ini berita gembira untuk kalian bahwa aku yang selalu menjunjung tinggi harga diri, pada akhirnya bisa curhat ke orang lain dan mengaku bahwa aku sedang dimabuk cinta.

Iya, iya. Silakan tertawakan aku sepuas kalian.

"Cerita saja, kami akan mendengarkanmu," kata Irene sedikit pasrah. "Ini soal hubunganmu dengan Wendy, 'kan?"

Kepalaku mengangguk untuk kedua kalinya. "Seperti yang kubilang beberapa hari lalu, aku sudah menyatakan perasaan padanya. Dan dia memintaku untuk menjaga jarak. Hari ini saja aku nggak boleh menemaninya sampai ke panggung dan menontonnya bernyanyi."

Mark menggigit bibir. "Aku pikir kamu sudah berhenti jadi produser untuk Wendy."

Baik aku maupun Irene menatap Mark bingung. "Maksud kamu apa, Mark?"

"Aku hanya teringat masa lalu," lanjut Mark dengan senyum tipis yang penuh arti. "Dulu Wendy juga tiba-tiba saja berhenti bernyanyi di Café Hometown. Alasannya adalah agar dia dan aku bisa lebih fokus mengejar impian kami. Bukankah itu sama saja dia mau menjaga jarak?"

"Tapi aku pikir kamu nggak datang ke konser ini," tambah Irene membenarkan pendapat Mark. "Karena aku pikir kamu sudah menyerah."

Begitu, ya? Di mata Irene dan Mark, aku laki-laki yang tidak serius dalam memenuhi ambisiku?

"Syukurlah apa yang kalian pikirkan nggak terjadi," hanya itu yang bisa kukatakan. "Aku masih menjadi produser untuk Wendy dan aku masih bingung apa sebaiknya aku menyerah atau nggak."

Apa aku perlu mengingatkan kalian bahwa saat ini usiaku 25 tahun? Aku harus segera pergi wajib militer. Sebelum itu, aku butuh pacar sebagai sumber semangatku. Pacar yang pada akhirnya akan kuajak menikah.

Waktuku tinggal sedikit. Kalau Wendy saja tidak bisa kuraih, apa sebaiknya aku segera pindah ke lain hati?

"Jangan menyerah, Suga," kata Mark tegas dan mengejutkanku. "Siapa lagi yang bisa membahagiakan Wendy selain kamu?"

Aneh rasanya mendapat dukungan dari laki-laki yang pada kenyataannya adalah sainganku. Hei, Mark. Tidakkah kau sadar bahwa kau adalah laki-laki yang selalu memenuhi kepala Wendy? Bahkan perempuan itu menangis saat mendengar kabar bahwa kau sudah menjadi pacar Irene.

Mengapa aku jadi bernostalgia seperti ini?

"Beri aku alasan kenapa aku nggak boleh menyerah," balasku pada Mark. "Apa lagi yang memang harus kulakukan?"

Tiba-tiba saja setelah aku bertanya, Mark meletakkan setumpuk kertas di meja yang menjadi pembatas kami. Setumpuk kertas yang sangat tebal, yang membuatku bingung bagaimana aku harus membawa semua ini pulang.

"Tolong perlihatkan ini pada Wendy," kata Mark bersungguh-sungguh. "Ini naskah yang kumenangkan dalam sayembara. Aku ingin Wendy mengisi soundtrack untuk drama ini."

Mataku terbuka sangat lebar. Apa mungkin ini jawaban dari segala pertanyaanku? Ini adalah naskah yang sudah kutunggu-tunggu sejak dulu.

"Kamu masih ingat ceritaku tentang impian Wendy dan Mark, 'kan?" tanya Irene sambil tersenyum. "Mark membuat naskah drama ini sepenuh hati dan kalau Wendy bersedia mengisi soundtrack drama ini, maka impian mereka akan terwujud."

Untuk ketiga kalinya aku mengangguk. "Iya, aku ingat. Mana mungkin aku lupa?"

Kira-kira apa reaksi Wendy saat aku datang menemuinya dan membawakan semua naskah ini? Apa dia akan senang? Tertawa? Menangis? Apa sikap dinginnya padaku akhir-akhir ini bisa kembali hangat?

Aku mengambil naskah episode pertama dan membaca sekilas sinopsis serta pengenalan tokohnya. Seulas senyum terbentuk oleh bibirku. Ah, ini cerita tentang mereka berdua. Cerita cinta yang manis dan berakhir pahit. Tapi segala pengorbanan mereka pada akhirnya tidak ada yang sia-sia.

"Ini sangat bagus," pujiku tanpa pikir panjang. "Sayang sekali kalau hanya dijadikan drama di awal tahun."

Irene menambahkan, "Dan sayang sekali jika Wendy nggak bernyanyi untuk soundtrack drama itu."

Benar juga. Untuk apa Wendy bekerja keras selama ini? Untuk apa Wendy mengutamakan karir dibandingkan mencari cinta yang sebenarnya sudah setiap hari kuberikan? Semua itu untuk impian ini. Dan kalau sudah terwujud, apa Wendy akan membuka hatinya untukku?

"Kalian nggak perlu khawatir. Aku akan membuatkan soundtrack yang pas untuk naskah sempurna ini. Dan aku akan meminta Wendy menyanyikannya," ujarku meyakinkan. "Kalau perlu, aku bisa memaksanya."

Mark tertawa kecil. "Nggak perlu sejauh itu. Wendy pasti akan sangat kaget kalau kamu memaksanya."

Aku mengangkat bahu. "Jangan meremehkanku, Mark. Akan kutunjukkan sisi profesionalku sebagai produser yang tahu mana pekerjaan bagus yang harus dilakukan."

Seperti salju pada musim dingin, biarkan impian ini menjadi hadiah natal untuk kami berempat.

After the Concert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang