"Jangan melibatkan perempuan dalam urusan laki-laki. Kita bukan banci yang mainin barbie di atas ring tinju."
-Alvino Ghayda-
-----
"LADEON!!"
Entah untuk keberapa kali nama itu menggema diudara. Si pemilik nama justru bergeming acuh tak acuh. Lebih memilih melewati perdebatan daripada memancing pertarungan. Ia yakin... seratus bahkan seribu persen yakin jika menyahut sekali saja maka hening akan pecah menjadi gaduh. Sebisa mungkin, meski muak, ia selalu menghindari itu.
"Kamu dengerin Papa nggak?!" seruan yang masih diabaikan untuk kesekian kalinya terdengar, kali ini lebih keras, lebih lantang, dan tentu saja lebih emosional. Kepalanya seperti dibakar hingga menciptakan api tidak kasat mata, "Ladeon!"
Ladeon Mahesa—Deon— adalah putra tunggal keluarga Dalana.
Telinganya mungkin baru terasa panas sampai membuatnya yang sejak tadi bergeming kini justru menyahut tanpa minat, "Denger." jawabnya singkat.
Papa menggeram, "Pulang!"
Deon diam. Lebih tepatnya, berusaha menepis emosinya.
"Ladeon, pulang!" Papa berteriak seolah Deon tidak memiliki telinga.
"Nggak mau." Deon menengadah menatap ayahnya yang berdiri kelang satu meja darinya. Jika selama ini ia menurut, masuk dan mengikuti tiap skenario drama yang kedua orang tuanya mainkan, kali ini Deon ingin berhenti.
"Ladeon!" Papa menggeram sampai wajahnya merah padam, "Papa bilang pulang!"
Cukup. Deon tidak tahan lagi.
"Pa!" Emosi membawa Deon berdiri dari duduknya. Matanya menatap nyalang penuh emosi pria paruh baya di depannya yang berstatus sebagai ayah biologisnya.
"Anak kurang ajar!" Papa nyaris hilang kesabaran, kentara dari mimik wajah yang begitu terlihat jengkel, "Sejak kapan kamu berani berteriak di depan wajah Papa, Ladeon?! Mau jadi anak pembangkang kamu?!"
Deon memejamkan mata dengan tangan mengepal kuat. Seolah semua emosinya selama ini bertumpuk di dalam kepalan tangannya. Selama ini, selama satu tahun ini mungkin Deon bisa menahannya. Mungkin selama tujuh belas tahun Deon masih mampu memendam semuanya. Tapi tidak lagi. Cukup. Semuanya harus berhenti. Ia sudah cukup muak oleh semuanya.
Karena keegoisan kedua orang tuanya, Deon harus meninggalkan semuanya.
Deon mencoba mengatur deru napasnya yang mulai tidak beraturan, "Aku mau disini." suaranya merendah. Berteriak tidak baik bagi pita suaranya.
Namun, Papa masih pada volume suara tingginya, "Pulang!" hanya itu. Hanya ingin Deon pulang. Bukan disini.
Suara Deon merendah, "Mama butuh aku disini." dan itu salah satu alasan mengapa ia kembali.
"Papa nggak peduli! Sama sekali nggak pedulu. Pulang, Ladeon Mahesa!"
Untuk masalah kesabaran, Deon tidak perlu diragukan lagi. Ia sudah bertemu banyak kesabaran selama tujuh belas tahun hidup di bawah orang tuanya. Tapi, sampai tadi, sampai ia memohon agar tetap disini, kesabarannya masih baik-baik saja. Tapi setelah mendengar jawaban ayahnya, ia baru menyadari kalau ternyata kesabarannya juga ada batasnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/121968543-288-k615118.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello A : Alvino & Alula
Teen FictionAwalnya, Alvino tidak mengenal Alula. Awalnya, Alula tidak ingin mengenal Alvino. Namun pada akhirnya, awalan tersebut berubah ketika Alvino dan Alula dipertemukan pada insiden kecil di kantin sekolah. #94 in TeenFiction [28/10/18] #2 in FiksiRema...