Note: ada baiknya baca chapter sebelumnya, menghindari amnesia mendadak sama alur cerita ini karena kelamaan update.
--------------------
"OI!"
Suara sekaligus tepukan kuat di bahu berhasil menarik Alvi dari lamunannya. Alvi yang semula bersandar pada pintu masuk parkiran mulai menegakan tubuh seolah baru mendapatkan kesadaran. Ia menoleh lalu melengos setelah melihat siapa dalang dibalik keterkejutannya.
"Elo, Ri." sapa Alvi tanpa niat.
Ari mendecak, "Pagi-pagi ngapain melamun kayak idiot, kesambet hantu parkiran ntar." celetuk Ari yang sama sekali tidak disambut baik oleh Alvi.
Alvi kembali memusatkan pandangannya ke arah gerbang sekolah. Mencari sosok yang sejak tadi tidak ditemukannya. Kebetulan pula, meski sedikit jauh, dari tempat Alvi berdiri ke arah pintu gerbang sekolah kelihatan jelas siapa saja yang berlalu lalang masuk dari luar.
"Sekolah bareng siapa? Gue nggak nemu motor lo diparkiran." tanya Ari sembari celingak-celinguk menyadari motor Alvi tidak terlihat dimatanya pagi ini.
"Danu." Alvi menjawab singkat, namun sebelum Ari membuka mulut, ia segera melanjutkan, "Untuk sementara waktu gue nggak bawa motor." Sampe gue berhasil bujuk Bunda supaya nggak jadi pindah ke Belanda. Sambungnya dalam hati.
Alvi benar-benar memberikan seluruh 'aset' yang diberikan orang tuanya pada Bunda sebagai ancaman bahwa Alvi tidak ingin pindah. Bahkan, hari ini Alvi sama sekali tidak membawa uang jajan. Hanya membawa tubuh beserta atribut sekolah yang melekat di tubuhnya.
Ari mengangkat sebelah alis bingung, "Lah terus Danu kemana?" tanyanya heran, jelas-jelas disini Alvi sendirian tidak bersama Danu.
"Gue suruh ke kelas duluan. Gue nggak mau nyeker ke kelas."
Memang benar jika Alvi meminta Danu menjemputnya pagi ini. Namun setelah sampai, Alvi meminta Danu ke kelas lebih dulu dengan alasan takut sepatunya disita--sepatunya berlist putih-- oleh guru yang piket. Di SMA Merpati, memang hampir setiap pagi selalu ada guru yang berjaga untuk memeriksa sepatu yang melenceng dari peraturan sekolah atau atribut yang tidak lengkap. Maka dari itulah Alvi lebih sering parkir di warung belakang sekolah daripada di parkiran sekolah sendiri. Karena takut sepatunya disita.
Namun kali ini, bukan itu alasan Alvi yang sebenarnya. Melainkan, ia ingin melihat seseorang lebih dulu.
"Alula," gumam Alvi setelah melihat sosok Lula yang baru saja memasuki gerbang sekolah. Tubuhnya menegak, kepalanya semakin menjulang ke atas. Akhirnya... Lula datang.
Alvi ... menunggu Lula.
Meski yang dilakukannya hanya melihat dari kejauhan.
Salahkah Alvi, jika merindukan Lula?
"Ck, gitu amat liatnya. Kagak ilang kali sampe nggak beralih mata lo!" cibir Ari telak setelah menangkap gerak-gerik Alvi yang berusaha menahan diri agar tidak berlari mengejar langkah Lula, "Alesan doang takut sepatu kesita. Halah, bilang aja mau liat Lula!" celetuknya lagi.
Alvi mendengus.
Sejujurnya, Alvi sendiri benci terjebak di keadaan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello A : Alvino & Alula
Ficção AdolescenteAwalnya, Alvino tidak mengenal Alula. Awalnya, Alula tidak ingin mengenal Alvino. Namun pada akhirnya, awalan tersebut berubah ketika Alvino dan Alula dipertemukan pada insiden kecil di kantin sekolah. #94 in TeenFiction [28/10/18] #2 in FiksiRema...