58 - Berteman?

7.6K 580 149
                                    

LULA tidak tahu jika berkurangnya napsu makannya beberapa hari ini akan berdampak buruk pada kesehatannya. Akhir-akhir ini, minatnya pada makanan menurun delapan puluh persen. Setiap kali Mama membawakannya bekal, pasti tidak pernah habis. Jika biasanya Lula makan tiga kali sehari, maka beberapa hari terakhir dirinya hanya makan satu kali sehari. Atau bahkan tidak makan sama sekali.

Akibatnya, kesehatan Lula menurun drastis. Lula sempat jatuh sakit karena kecapaian dan nyaris terancam akan di rawat jika saja ia tidak menolak dengan keras dan meyakinkan sungguh-sungguh akan menjaga pola makannya. Namun sampai hari ini, Lula belum menepati janjinya.

Seharusnya, dengan keadaan seperti itu, Lula tidak boleh pergi ke sekolah. Tapi keadaan tidak mengizinkannya berdiam diri. Menjelang ujian semester, berbagai macam tugas diberikan oleh guru dan harus diserahkan sebelum menjelang tempur. Ulangan harian bahkan hampir setiap hari. Disaat sibuk seperti ini, bagaimana mungkin Lula berdiam diri di rumah dengan perasaan tidak tenang?

"Lo yakin sanggup ikut ambil nilai? Ini kebugaran jasmani loh, La?"

Dera berulang kali meragukan Lula, berharap jika teman dekatnya itu akan berubah pikiran. Hari ini ada pelajaran olahraga. Seperti yang sudah disepakati dari dua minggu lalu bahwa hari ini akan diadakan pengambilan nilai kebugaran jasmani berupa lari, push-up, sit-up, dan lain-lain dalam satu waktu. Di keadaan yang bisa dibilang tidak baik-baik saja, Lula tidak mungkin sanggup. Lebih baik Lula berbaring di UKS daripada tetap nekat mengikuti olahraga ini.

Lula mengangguk ragu, "Sanggup, kok. Daripada nanti nilainya kosong. Gue nggak mau ambil nilai sendirian." jawabnya dengan napas pendek. Sesekali memijat pangkal hidungnya yang terasa berdenyut.

Mereka berdua sedang berjalan di koridor mengekor anak kelas yang lain menuju ke lapangan. Dera menghentikan langkah kemudian menutup jalan Lula, "Jangan dipaksain, muka lo pucet gitu. Nanti gue temenin deh pas ambil nilai. Sekarang lo istirahat aja di UKS." ujar Dera memaksa, kemudian menarik pelan tangan Lula, "gue anterin, yuk!"

Namun, Lula memang sekeras kepala 'itu' untuk tetap keukuh pada perkataannya, "Enggak mau. Gue baik-baik aja. Jangan khawatirin gue, ya?" pintanya.

Dera menyerah kemudian mengangguk, menuruti kemauan keras kepala Lula. Ia penasaran, seberapa tahan Lula berdiri di tengah terik matahari seperti sekarang dalam keadaan 'tidak baik-baik saja'.

Lula menyipit ketika wajahnya berhadapan langsung dengan matahari. Meski hari ini begitu terasa panas, tapi sekujur tubuh Lula terasa dingin. Entah efek sakit kepala atau karena perut yang belum terisi apa pun sejak pagi tadi, lamat-lamat matanya mulai berkunang-kunang. Kemudian perutnya terasa mual. Membuat tangan dan kaki Lula semakin basah oleh keringat dingin.

Lula merintih pelan. Ingin meminta izin pulang rasanya terlambat ketika namanya sudah dipanggil, "Alula Adreena."

Lula berdiri, setelah mendengar peluit ditiup barulah ia melakukan lari bolak-balik jarak pendek dalam waktu tiga puluh detik. Awalnya, Lula berpikir melewati waktu tiga puluh detik sama sekali tidaklah sulit. Namun ternyata dugaannya salah. Satu ... dua ... tiga putaran mungkin Lula masih terlihat baik-baik saja. Saat putaran ke empat langkahnya mulai mengecil, tubuhnya mulai tak seimbang dan matanya berkunang-kunang hebat.

Benda-benda disekelilingnya terasa berputar-putar, kakinya sepeti melayang tidak lagi berpijak pada tanah. Kepalanya berdenyut hebat. Tubuhnya seakan-akan ditarik kemudian didorong dalam waktu bersamaan.

Hello A : Alvino & AlulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang