ALVI menyulut batang rokok dengan api untuk kesekian kalinya, kemudian mengepulkan asapnya ke udara. Sejak sampai dikostan Glen, yang dilakukannya hanya diam sembari menghisap rokok. Lebih memilih mengasingkan diri dari teman-temannya yang sibuk bernyanyi dan main remi di dalam, duduk sendiri diteras depan dalam diam. Matanya menerawang, pikirannya berkelana, satu persatu kejadian seperti membentuk sebuah slide yang berputar di dalam kepalanya.
Hanya sedikit... hanya sedikit beban yang menggantung di punggungnya, namun beban itu seperti racun yang menyebar dan perlahan mematikan seluruh saraf ditubuhnya.
Kepulan asap kembali melayang, lalu pecah di udara. Berulang kali, hingga batang rokok tak lagi dapat dihisap oleh si pemilik bibir.
"Gue bakal balik ke Australia lagi."
Mengingat kembali ucapan Deon di kafetaria tadi membuat Alvi tertawa mendengus. Semakin geli pada keadaan yang menjadi sedemikan berantakan. Semuanya sudah sulit, namun mengapa semesta tak kunjung puas membuatnya menderita?
Setelah mendengar Deon mengatakan ingin kembali ke Australia, Alvi sama sekali tidak merasa bahagia. Tak secuil pun rasa senang muncul. Malah dirinya merasa terbakar, Deon hanya menyulut api yang sempat mati hingga kembali berkobar dan melalap habis sisa-sisa kesabarannya.
Yang semakin membuat emosinya tak tekontrol adalah saat menyadari bahwa dirinya... juga akan pergi.
"Secepatnya." Deon kembali melanjutkan karena Alvi hanya diam, "Gue bakal pergi secepatnya." lanjtnya sungguh-sungguh, meyakinkan Alvi bahwa ucapannya tidak sekedar omongan belaka.
Namun Alvi tidak menyahut. Bibirnya terkunci sedangkan kepalanya bekerja. Suara Ayah dan Bunda saling bersahutan membahas mengenai kepindahannya. Semua terekam dan berputar layaknya slide kilas balik. Wajahnya berubah pias menyadari bahwa sangat tipis kemungkinan keluarganya tidak jadi pindah.
"Kebahagian Alula masih jadi prioritas gue." Deon lagi-lagi melanjutkan, memutuskan keheningan yang Alvi ciptakan. Ia tersenyum pahit, gemuruh didadanya meluap siap meledak, "Setelah tau kalo gue bukan lagi prioritas dia, udah waktunya gue melangkah mundur supaya lo bisa bergerak maju."
Namun lagi-lagi Alvi terbungkam. Jantungnya berdegup kian hebat. Perkataan Deon memutuskan kesadarannya. Tangannya mengepal. Bukan ini yang ingin didengarnya. Bukan. Alvi sama sekali tidak menginginkan Deon pergi dari kehidupan Lula. Jika Deon pergi.... siapa yang akan melindungi Lula nantinya?
Maka yang dapat dilakukan Alvi saat ini adalah menarik diri. Tanpa mengatakan apapun, tubuhnya menegak dan berbalik meninggalkan Deon yang terdiam tanpa menahan langkahnya. Suara decitan kursi yang Alvi sebabkan mengundang berpasang-pasang mata menghujami meja yang Deon duduki.
Alvi tidak peduli.
Dirinya begitu ingin memaki Deon, namun makian itu tertahan, tertelan begitu saja ke dalam tenggorokan setelah menyadari bahwa posisinya tak lebih seperti Deon. Karena pada akhirnya Alvi... juga akan meninggalkan Lula.
Alvi menarik senyum miring, dibuangnya puntung rokok yang tidak dapat dihisap lagi. Lalu terbatuk, tercekat oleh asap rokoknya sendiri. Buru-buru meminum air mineral yang tadi sempat dibelinya di warung depan gang kostan Glen.
"Kayak kecekik setan aja lo!" cibiran itu berhasil menarik kepala Alvi menoleh ke samping setelah berhasil menegak habis air mineral. Dilihatnya Glen sudah duduk dan mulai menyulut rokoknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello A : Alvino & Alula
Teen FictionAwalnya, Alvino tidak mengenal Alula. Awalnya, Alula tidak ingin mengenal Alvino. Namun pada akhirnya, awalan tersebut berubah ketika Alvino dan Alula dipertemukan pada insiden kecil di kantin sekolah. #94 in TeenFiction [28/10/18] #2 in FiksiRema...