14 - Flashback

11.6K 631 23
                                    

"Aku ingin seperti kamu, yang tetap tenang sedangkan aku kesakitan. Aku ingin seperti kamu, masih mampu berdiri sedangkan aku masih lumpuh belum bisa berjalan sendiri."

-Alula Adreena-

-----

LULA berjalan tergesa menuju kelas yang terletak di lantai dua, dimana kelas 10 IPA 1 berada. Tangannya menjinjing karton warna-warni yang berisikan nama anak murid di kelasnya, dan beberapa perlengkapan lainnya untuk mendekor kelas.

Hari ini adalah hari ketiga Lula sekolah sebagai anak SMA Rajawali. Kemarin ia dipilih menjadi sekretaris satu, dan mendapat tugas membuat nama anak piket, struktur kelas, serta jadwal pelajaran kelas.

Sebenarnya tugas itu bukan hanya ditugaskan pada sekretaris satu saja, melainkan pada sekretaris dua juga. Namun, Lula menolak dan memilih mengerjakan sendiri, dan merelakan jam tidurnya hanya untuk membuat nama-nama itu hinggu pukul dua pagi.

"Buat sendiri?"

Suara itu mengalihkan perhatian Lula, langkahnya melambat dan senyumnya mengembang melihat siapa yang berdiri di sampingnya. Senyum Lula semakin lebar ketika tangan besar itu menyeka bulir keringatnya.

"Iya." Lula mengangguk menyetujui, "Hari ini aku tidur cuma empat jam." ujarnya curhat.

Cowok yang lebih tinggi dari Lula ini mendecak sebal, lalu menghela napas memaklumi sifat Lula yang antara bodoh atau terlalu baik.

"Lo nggak denger kata wali kelas kemarin? Itu tugas sekretaris satu dan dua. Kenapa lo mau jadi sok pahlawan buat ngerjain semuanya?"

Lula membenarkan tali tas punggungnya yang melorot, kemudian mencubit gemas lengan temannya ini, "Ih, Deon! Nggak gitu. Kemarin Seli bilang dia ada urusan, jadi nggak bisa bantu. Lagian nggak masalah kok."

Deon menatap datar Lula, "Lo mau aja dimanfaatin sama dia. Kayak nggak tau Seli aja, mana mau tuh cewek berkutat sama kertas. Coba di suruh pilih dress keluaran terbaru, dia pasti berdiri paling depan!" ujarnya kesal sendiri.

Meski baru sekolah tiga hari di SMA ini, Deon cukup mengetahui Seli saat SMP karena mereka pernah sekelas.

Lula tertawa, "Ketua kelas nggak boleh gitu ah."

Deon mendengus, "Lo yang calonin gue jadi ketua kelas," jawabnya.

"Ya makanya jangan calonin aku jadi sekretaris," Lula cemberut, "Impas dong!" sungutnya.

"Terserah."

"Kenapa sih marah-marah? Masih pagi loh, nanti cepet tua. Lagian nggak cocok sama muka datar kamu kalo marah-marah." Lula mencibir.

Saat menaiki tangga, kaki Deon berhenti dianak tangga kedua, sedang Lula sudah mencapai anak tangga ke empat. Menyadari Deon tertinggal di belakangnya, Lula menoleh.

"Kenapa berhenti?"

"Gue nggak yakin bisa, La." gumam Deon pelan.

"Hah?"

Deon menunduk kemudian menghela napas dan kembali menghampiri Lula. Setelah berdiri di samping Lula, Deon merangkul pundak itu sebagai tanda persahabatan. Tangannya terangkat mengacak rambut Lula yang sudah di kepang rapi.

"Jadi rusak, kan, kepangan rambutnya ih! Ini di kepangin abang Arka tau?!" rengut Lula kesal.

"Nanti di kelas gue kepangin lagi, jangan lebay gitu." ujar Deon masih setia merangkul pundak Lula, sebelah tangannya lagi berada disaku celana.

Hello A : Alvino & AlulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang