38 - Bianglala

10.6K 568 12
                                    

"KARENA saya ingin."

"Hah?"

Ibu itu menoleh masih dengan senyum di bibirnya, menatap mata Lula selama lima detik. Seolah-olah sedang melihat sesuatu di mata itu. Awalnya, tatapan itu di taburi oleh senyum, namun kian lama senyum di mata itu memudar.

"Mau Ibu ramal?" ulangnya sekali lagi, kali ini sedikit mendesak Lula untuk segera menjawab.

Lula terdiam sambil menimang-nimang tawaran untuk di ramal. Walau ia tidak memercayai hal semacam itu, tapi jika dicoba tidak ada salahnya, kan?

Lula menarik napas pelan, kemudian mengangguk kecil, "Silahkan."

Ibu itu tertawa lembut, matanya kini beralih menatap orang-orang yang berlalu lalang, terutama pada Alvi.

"Terhitung hari ini dan tiga hari ke depan kamu nggak bisa tidur dengan baik." ujar Ibu itu tanpa ragu, lalu membenarkan posisi anaknya agar lebih nyaman, "Juga nggak selera makan."

Lula mendengarkan dengan baik, karena itulah ia memiringkan sedikit kepalanya, "Kenapa?"

Ibu itu tertawa renyah, "Kamu nanti akan merasakannya."

"M-maksudnya?" tanya Lula semakin tidak mengerti.

Lula tersentak ketika secara tiba-tiba ucapan itu kembali menguasai kepala kosongnya. Padahal sudah mati-matian Lula menghilangkan kejadian malam itu dari pikirannya. Lula menghentikan gerak langkahnya secara mendadak.

"Nggak! Nggak! Nggak boleh mikirin itu terus!" Lula menyemangati diri penuh keyakinan. Ia sudah bertekad akan melupakan tentang malam itu.

Sudah cukup Lula berlarut-larut selama tiga hari ini dengan pikiran itu-itu saja. Lula lelah tidak tidur selama tiga hari. Lula lemas karena pasokan nasi belum menjejal perutnya.

Cukup. Lula tidak ingin mati konyol karena ciuman malam itu!

Lula kembali berjalan dengan posisi siaga. Matanya terus beredar melihat tiap sudut koridor yang masih sepi, takut jika tiba-tiba cowok bernama Alvino itu muncul di hadapannya.

Sudah tiga hari sejak insiden Alvi menciumnya, Lula berupaya keras menghindar bertemu dengan Alvi. Sama sekali tidak berani menunjukan diri di depan cowok itu. Menunjukan? Melihat Alvi saja rasanya tidak mampu.

Tiga hari ini Lula rela berangkat lebih awal dari murid lainnya, tentu agar tidak bertemu dengan Alvi di sekolah. Lula harus merelakan waktu sepuluh hingga lima belas menit di dalam toilet saat pulang sekolah, dan baru keluar jika sekolah mulai sepi. Alasannya masih sama; agar tidak bertemu dengan Alvi.

"Eh, eh, Itu ada Alvino!"

"HAH?!"

Suara itu menghentikan langkah Lula secara mendadak. Lula memposisikan diri dengan sikap siaga, panik bukan main ketika mendengar seseorang menyebut nama itu.

"Mana?!" Lula bergerak panik.

"Di belakang lo."

Lula refleks memutar tubuhnya. Detik berikutnya dahi Lula membentur dagu seseorang, membuatnya harus mundur satu langkah agar dapat melihat jelas wajah pemilik dagu yang berani menabrak dahinya.

Hello A : Alvino & AlulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang