54 - Menjauh

7.6K 552 71
                                    

SUARA ketukan pintu kamar berulang kali terdengar, dari ketukan yang biasa saja hingga ketukan paling keras seperti rentenir yang ingin menagih hutang sudah dilakukan. Namun sepertinya, seseorang di dalam kamar tak kunjung membuka mata.

"Alvino!"

Bukannya beranjak, Alvi malah semakin meringkukan tubuhnya dibawah selimut, mengabaikan suara toa Bunda yang terus meneriaki namanya serta gedoran dipintu kamarnya.

"Alvino!"

Alvi berdecak, kemudian beranjak dari tempat tidur membuka pintunya yang terkunci. Memilih menyudahi aksi teriak-teriak Bunda pagi-pagi seperti ini. Lalu ia kembali ke tempat tidur dan melanjutkan tidurnya.

Namun, gagal.

"Sebentar lagi jam tujuh Alvino!" Bunda berteriak sembari membuka selimut yang hendak menutupi kembali tubuh Alvi.

"Bun, hari ini nggak sekolah, ya?" pinta Alvi samar dengan mata terpejam. Sama sekali tidak berniat membuka matanya untuk melihat Bunda marah-marah.

"Enggak!" tolak Bunda mentah-mentah, selimut itu sudah disingkirkan jauh-jauh dari jangkauan Alvi. "Bangun, bangun." katanya memerintah.

Alvi meringkuk memeluk tubuhnya sendiri, "Ah Bun..., masih jam setengah tujuh belum lagi jam tujuh." protesnya.

Dahi Bunda berkerut dalam, biasanya Alvi semangat bangun pagi, bahkan anak bujangnya ini akan marah-marah jika tidak dibangunkan pada pukul enam pagi. Tapi tiga hari ini, Alvi selalu uring-uringan jika disuruh pergi ke sekolah. Pak Rajiman juga meberitahu bahwa Alvi kembali seperti dulu, sering terlambat.

"Bangun atau Bunda siram pake air?!" ancam Bunda tidak main-main, kontan saja membuat mata Alvi terbuka lebar.

Alvi mendengus, "Mainnya ngancem. Dasar emak-emak." celetuknya samar, nyaris tidak terdengar. Setelah itu ia beranjak turun dari tempat tidur dengan mata merem-melek, tak lupa mengacak rambut sebagai bukti kekesalan.

"Sekolah itu harus semangat, ini males-malesan nggak jelas. Sebentar lagi mau ujian tengah semester. Masa nggak ada semangat-semangatnya?" dumel Bunda bersidekap galak menatap anak sulungnya.

Alvi semakin mengacak rambutnya kemudian mendecak samar, "Nggak ada lagi yang namanya penyemangat." Alvi menceletuk pelan, entah hanya asal ceplos atau karena sebagian nyawanya belum terkumpul ia juga tidak tahu. Yang jelas, ia sudah kehilangan minat datang ke sekolah sepagi hari-hari kemarin saat masih mendekati Lula.

Selama tiga hari ini, Alvi kembali menjalankan rutinitas seperti dulu ketika ia tidak mengetahui adanya Lula di SMA Merpati.

Sebab, tidak ada lagi yang memicunya untuk bangun pagi, tidak ada lagi yang membuatnya semangat menunggu bel pulang berbunyi, tidak ada lagi alasan-alasan aneh untuk mengajak Lula makan di kantin sekolah, tidak ada lagi yang membuatnya menunggu di gerbang sekolah, tidak ada lagi seorang Alvino Ghayda yang berusaha mati-matian menarik perhatian seorang Alula Adreena. Tidak ada.

Dan, tidak ada pula alasan bagi Alvi untuk tetap mendekati Lula.

Bahkan, Alvi berusaha keras menghindari Lula baik di sekitar rumah maupun di sekolah, sebab hanya untuk berpapasan saja rasanya terlalu enggan. Sebab Lula, terlalu sempurna menorehkan luka.

Hello A : Alvino & AlulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang