SETELAH mengumpulkan lembar ujian, Lula merapikan alat tulis beserta lembar oret-oret dari atas meja. Menyadari bahwa ia adalah dua murid terakhir yang tersisa dikelas ini, Lula menghela napas pelan. Padahal ujian terakhir pelajaran matematika, kategori pelajaran sulit untuk anak SMA, tetapi teman kelasnya malah paling cepat selesai mengerjakan. Selain soalnya sulit, hari ini konsentrasi Lula jauh dari kata baik, rumus yang dipelajarinya semalaman hilang melayang seolah lenyap dari kepalanya.
Matanya mengedar ke sekeliling. Ternyata sekolah mulai sepi. Dikoridor kelas 11 IPA hanya tersisa dirinya dan tiga siswi lainnya. Dera sendiri keluar kelas lebih awal karena tidak sabar ingin bertemu dengan keponakannya yang baru lahir kemarin.
"Jadi nggak jemput?" Lula menyahut ketika telepon tersambung. Kepalanya menunduk dan matanya mengikuti gerak kakinya. Kemudian membenarkan ranselnya yang melorot.
"Gue udah di depan."
"Cepet banget." gerutu Lula, "Beliin gue minum nggak?" sambungnya hati-hati. Mewanti-wanti jawaban lawan bicaranya. Ia sudah mempersiapkan diri untuk marah-marah jika jawabannya 'Belum dibeli'.
"Bawel banget sih." lawan bicara Lula, Zio, ikut menggerutu. Mengundang dengusan kuat dari Lula, "Yogurt, kan? Gue beli dua. Cepetan. Ntar gue kasih ke satpam nih minum lo kalo kelamaan."
Tawa Lula sukses meledak, bukan tawa besar seperti orang kebanyakan. Tawa 'meledak' Lula adalah tawa khas yang tidak pernah dimiliki orang lain, "Ya udah beli lagi dong. Kakakku kan ATM berjalan. Banyak duittttt."
"Gue tinggal beneran nih!"
"Iya ish, jangan ngancem dong!" Lula merengut, mematikan ponsel tanpa kata penutup. Mendumel dalam hati disepanjang koridor. Memikirkan apa yang nanti dilakukannya pada Zio setelah sampai dimobil. "Ish nyebelin!" Lula menghentakan kakinya tanpa sadar, lalu melangkah secepat mungkin.
Kemudian langkahnya melambat, bersamaan dengan tubuhnya yang mematung setelah melihat siapa yang bersandar didinding tikungan koridor sembari memainkan rubik. Tak sampai hitungan detik jantung Lula berdegup hebat, bergemuruh dan rasanya ingin meledak. Kakinya melangkah mundur, lalu berhenti setelah dua langkah.
Meski melihat Alvi tak mampu. Meski mendengar suara Alvi hatinya akan luruh. Meski begitu besar inginnya menghapus rasa pada Alvi. Lula... tidak boleh terus-menerus melarikan diri.
Lula menghela napas sesak. Setelah berhasil mengumpulkan keberanian untuk kembali melangkah, kakinya melangkah dengan langkah kecil dan begitu lambat. Diam-diam matanya memperhatikan Alvi yang beridiri tenang sembari memainkan rubik. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik melengkung membentuk senyum pedih.
Semakin dekat jaraknya dengan Alvi, semakin kuat pula jantungnya berdetak saat wangi parfum Alvi menyesaki indra penciumannya. Terbesit satu fakta yang berhasil menikam telak dadanya, bahwa ia begitu merindukan Alvi.
Tepat ketika tubuhnya ingin melewati Alvi, cowok itu menghentikan permainan rubiknya secara tiba-tiba. Berdiri dari sandarannya, mengangkat kepala seolah tahu Lula akan melewatinya.
"Gue mau pastiin sesuatu."
Suara dingin itu berhasil menghentikan langkah Lula, meningkatkan aliran darah sekaligus pemicu jatuhnya jantungnya ke mata kaki. Kepalanya kontan menoleh pada Alvi yang menatapnya dingin.
"Supaya gue nggak salah ambil langkah."
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello A : Alvino & Alula
Teen FictionAwalnya, Alvino tidak mengenal Alula. Awalnya, Alula tidak ingin mengenal Alvino. Namun pada akhirnya, awalan tersebut berubah ketika Alvino dan Alula dipertemukan pada insiden kecil di kantin sekolah. #94 in TeenFiction [28/10/18] #2 in FiksiRema...