Di ruang bernuansa putih berbau obat ini, dua manusia duduk berhadapan. Yang satu sibuk merintih kesakitan, yang satu lagi sibuk mengobati. Sejak awal masuk kemudian duduk, keduanya diselimuti oleh hening. Masing-masing bibir mereka terkunci, saling mempertahankan gengsi untuk tidak membuka suara lebih dulu.
"Sshh..."
Lula tersentak, lamunannya buyar ketika Danu menarik kepalanya sambil merintih kesakitan. Kontan saja membuat Lula bergerak panik, merasa bersalah karena tanpa sengaja menekan kuat luka pada sudut bibir Danu.
"Maaf." sesal Lula sungguh-sungguh.
Danu menggeleng, "Nggak apa-apa." balasnya cangung.
Biasanya, jika bersama Alvi, Danu tidak akan ragu mengganggu atau bahkan menggoda Lula. Namun jika sedang berdua seperti ini tanpa adanya Alvi, Danu merasa cangung, bahkan untuk melirik saja tidak berani.
Lula melempar senyum getir, kemudian menunduk. Tangannya sibuk memeras handuk kecil yang sudah dicelupkan ke dalam air untuk mengompres luka Danu akibat pukulan Alvi. Pikirannya kembali berkelana, memikirkan keberadaan Alvi dan sedang apa dia sekarang. Lula ingin tertawa, bagaimana mungkin ia masih bisa memikirkan Alvi setelah apa yang dilakukannya pada cowok itu?
"Gue ... boleh nanya?" setelah terjadi keheningan cukup lama, Danu memberanikan diri bertanya pada Lula, sekaligus ingin menemukan jawaban atas pertanyaan di dalam kepalanya.
Mendengar itu kepala Lula terangkat, matanya mengerjap mamandang Danu dengan ekspresi bingung, "Nanya apa?" sahutnya kemudian.
"Sorry kalo sebelumnya gue lancang," Danu menggaruk tengkuknya salah tingkah, "lo ada masalah sama Alvi?" sambungnya ragu, takut salah bicara.
Pergerakan tangan Lula yang mengobati luka Danu sempat berhenti, namun itu hanya berlangsung beberapa detik. Lula menarik senyum tipis, "Enggak, kok."
"Serius?" tanya Danu tidak yakin.
Lula mengangguk, "Maafin Alvino ya, gue yakin dia nggak bermaksud kayak tadi."
Danu terkekeh, "Santai aja kali, La, gue juga nggak terlalu ambil hati. Mungkin dia lagi ada masalah aja. Biasanya nggak pernah gitu. Marah kali ya gue gangguin lo tadi." ujarnya geli sendiri.
Mendengar jawaban Danu membuat dada Lula digerogoti rasa ngilu. Apalagi kalimat terakhir, semakin memperjelas fakta bahwa Alvi memang tidak ingin bertemu dengannya, bahwa ia adalah pemicu utama Alvi marah hingga tega memukul temannya sendiri.
"Jangan dipikirin, Alvi suka bercanda, gue juga nggak mempermasalahin. Sekali-kali ngerasain gimana rasanya dipukul temen sendiri." diakhir kalimat Danu tertawa, ia bermaksud menghibur Lula yang tampak murung, sekaligus ingin memancing Lula agar mau berbicara.
Lula meremas kuat handuk ditangannya, "Seharusnya Alvi marah sama gue, bukan sama lo." cicitnya, seolah tidak memiliki muka mengatakan itu di depan Danu.
Dahi Danu berkerut samar, "Kalian beneran lagi ada masalah?" tanyanya, melupakan nyeri pada sudut bibirnya yang terluka.
Lula terdiam. Bahkan sampai detik ini, rasa bersalahnya pada Alvi tidak kunjung terkikis, malah semakin menggunung. Ia sudah menceritakan semua pada Dera, seseorang yang saat ini paling ia percaya menjadi pendengar. Namun tidak untuk Danu. Lula tidak sepercaya itu bercerita mengenai masalahnya dengan orang lain terutama pada seseorang yang tidak dikenalnya cukup baik.
Danu menarik napas pelan, kemudian melepas tawa guna mencairkan suasana, "Kalo emang lagi ada masalah, terus Alvi marah, biarin aja. Paling bentaran doang, tuh anak mana bisa marah lama-lama." celetuk Danu asik sendiri. "Alvi jangan dipikirin, biar dia aja yang mikirin elo." katanya lagi tanpa tahu seberapa besar sesuatu yang ingin meledak dibalik dada Lula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello A : Alvino & Alula
Teen FictionAwalnya, Alvino tidak mengenal Alula. Awalnya, Alula tidak ingin mengenal Alvino. Namun pada akhirnya, awalan tersebut berubah ketika Alvino dan Alula dipertemukan pada insiden kecil di kantin sekolah. #94 in TeenFiction [28/10/18] #2 in FiksiRema...