60 - Taruhan

8.8K 590 115
                                    

PERUBAHAN sikap Alvi belum bisa dipercaya. Dari awal mengenal Alvi, dia hanya menunjukan sikap hangat pada Lula. Melihat ekspresi dan cara bicara Alvi yang begitu dingin membuat Lula ingin mengutuk diri. Mata segelap kopi yang biasa menatapnya lembut mulai terasa pekat.

Sikap dingin Alvi benar-benar menikam hatinya. Pandangan lurus Alvi seolah akan mencabik kornea matanya. Lula mencoba terbiasa pada Alvi yang selalu mengabaikan kehadirannya. Namun selalu gagal.

Setiap kali mereka tidak sengaja berpapasan dikoridor, Lula tahu bahwa Alvi berusaha menghindarinya dengan cara berputar arah, pura-pura mengikat tali sepatu agar terhindar dari kontak mata, atau yang lebih menyakitkannya lagi Alvi hanya lewat begitu saja tanpa menyapa. Alvi ... bersikap seolah tidak mengenal Lula.

Pernah sekali Alvi datang ke kelasnya. Lula pikir Alvi akan menemuinya dan mengajaknya ke kantin seperti biasa. Ternyata dugannya salah, Alvi datang bukan untuk menemuinya melainkan ingin bertemu Reno. Malah yang lebih membuat Lula ingin menangis adalah saat tak sengaja mendengar percakapan Alvi dan Reno.

"Ada apaan bro? Tumben-tumbenan lo manggil gue." Reno terkikik geli sembari bersandar di sisi pintu kelas.

"Ini, gue mau ngajakan main futsal sore nanti. Sama anak lainnya juga. Bisa nggak?" kata Alvi.

Reno berdecih, "Kirain apaan sampe nyamperin gini. Chat kan bisa." balasnya lalu matanya memicing curiga, "Halah, alesan doang kan lo, bilang aja mau ngeliat Lula. Basi banget anjir." tudingnya dengan gaya mencibir.

Alvi mendecak, "Nggak ada urusan sama dia." celetuknya yang membuat beberapa murid menoleh, "Gue cuma mau ngajak doang. Itu juga kalo lo mau. Kagak juga nggak masalah. Gue cabut." kemudian Alvi berlalu begitu saja.

Perkataan Alvi di UKS tempo hari juga masih membekas dihatinya. Bukan tidak terima. Hanya saja perkataan itu semakin menyadarkan bahwa Lula terlalu dalam melukai. Untuk menangis, rasanya Lula tidak memiliki air mata lagi. Mungkin karena baru pertama kali ia meraskaan jatuh cinta, untuk kehilangan rasanya tidak terima.

Namun bagaimana pun juga, ini adalah keputusannya. Lula sendirilah ... yang memilih untuk tetap menggenggam tangan Deon kemudian melepaskan tangan Alvi.

"Gue harus gimana?" gumamnya pelan. Matanya menatap nanar jendela kamar yang mengarah langsung pada bangunan kokoh di depan rumahnya.

Kemudian tangannya meraih ponsel, dibukanya kolom chat pada akun Alvi. Hanya sebatas itu. Selanjutnya Lula termenung menatap layar ponsel yang menampilkan profil Alvi. Jarinya terlalu kaku untuk mengetikan sesuatu disana. Hingga akhirnya ia menyembunyikan ponsel itu di bawah bantal dan kembali meringkuk di bawah selimut. Lula ... hanyalah seorang Alula Adreena, gadis yang terlalu sulit mengekspresikan perasaannya.

Tiga hari lagi ujian semester berlangsung, namun sampai detik ini Lula belum bisa menjernihkan pikirannya. Lula menarik napas dalam, ditatapnya kembali rumah Alvi kemudian mengangguk kecil. Lula berusaha meyakinkan diri. Entah untuk yang pertama atau terakhir kali, ia akan memberanikan diri menemui Alvi secara langsung tanpa peduli jika kelak Alvi mengabaikannya.

Setelah semua yang terjadi, Lula ingin bersikap egois terhadap perasannya. Ia tidak dapat membohongi diri. Meski tak memiliki muka lagi untuk meminta Alvi memaafkannya, namun dirinya ingin membawa Alvi kembali.

Lula benar-benar ingin Alvi kembali.

Kepalanya mengangguk kuat dengan senyum merekah dibibirnya. Jika Alvi sudah kembali Lula berjanji akan jujur terhadap perasaannya dan mengatakan dengan sungguh-sungguh, "Gue suka sama lo, Vino..."blirih Lula, "Alvino, gue ... juga suka sama lo."

Hello A : Alvino & AlulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang