15 - Maaf

11.8K 674 24
                                    

"VIN!" Lula menahan langkahnya, tangannya menahan lengan Alvi agar cowok itu berhenti menarik pergelangan tangannya.

Alvi terpaksa menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dengan wajah yang di tekuk. Membuat Lula menggigit bibir bawahnya kuat.

"Itu---" Lula menghela napas, "Nggak sopan ninggalin Deon begitu aja."

Alvi membuang pandangannya ke depan, meraup wajahnya dengan satu usapan kasar. Ia mencebikkan bibir kesal, meraup oksigen sebanyak-banyaknya lalu mengembuskan perlahan.

"Terus lo mau masuk ke dalam lagi?" Tanya Alvi sarkasme, membuat Lula semakin gemetaran. Alvi menelan ludahnya, membuat jakun tajamnya bergerak naik turun.

"Bukan gitu. Ta--"

"Masuk." Alvi membukakan pintu penumpang di sebelah kemudi, mempersilahkan Lula yang masih bergeming di tempatnya.

"Vin.." Di balik bulu mata panjangnya, Lula menatap Alvi dengan sorot memohon.

Alvi meraih pergelangan tangan Lula dan menariknya lembut, membawa Lula mendekat kearahnya. "Masuk."

Lula meremas tangannya sendiri, menoleh ke arah pintu kedai dengan pandangan terluka. Sejujurnya, masih banyak yang ingin ia katakan kepada Deon, ia ingin mencerca Deon dengan pertanyaan yang mampu membuat Deon bungkam.

"Ayo masuk."

Lula menoleh ke arah Alvi, matanya siap mengeluarkan cairan bening itu. Namun dengan sekali usapan di matanya, Alvi menggagalkan cairan bening itu turun.

Lula mengangguk setuju, kendati hatinya menolak untuk ikut pulang bersama Alvi.

Alvi meletakkan tangannya di atas kepala Lula sebagai pelindungan agar cewek itu tidak terhantuk sisi atas pintu mobil.

"Vin." Lula memanggil setelah terjadi keheningan diantara keduanya, kepalanya menatap lurus kejalan raya, Alvi berdeham tanpa menoleh, "Kenapa gue merasa kalo lo terlalu ikut campur urusan gue?"

Alvi tertegun, sedikit tertohok ucapan tajam dari bibir cewek yang duduk disebelahnya. Alvi menarik senyum tipis, mencoba terlihat biasa saja agar tidak terpancing oleh ucapan Lula.

"Oh ya?" Alvi menoleh sedetik, lalu kembali melajukkan mobilnya saat traffic light berubah berwarna hijau.

"Kita bukan apa-apa. Lebih tepatnya bukan siapa-siapa. Kenapa lo seolah punyak hak narik gue kayak tadi?" Napas Lula memburu, meluapkan kekesalnya yang menumpuk sedari tadi.

Sebuah pedang tajam seakan menikam tepat berada di jantung Alvi, mengoyak meninggalkan sebuah lubang besar yang mengangga, membuat napasnya ikut terhambat.

Inikah yang dinamakan sakit tapi tak berdarah?

"Apa harus jadi apa atau siapa dulu baru boleh peduli sama lo?" Alvi berkata dengan nada yang begitu santai nyaris tak ada emosi.

"Gue nggak ngerti jalan pikiran lo." Lula menghempaskan tubuhnya di sandaran jok, "Kita bahkan nggak kenal baik. Kenapa lo harus peduli sama orang asing?"

"Iya, emang." Alvi mengangguk setuju, "Kita berdua orang asing yang terperangkap di dalam mobil yang sama."

Lula terdiam. Setelah beberapa detik berpikir, ia bersuara, "Kenapa sih lo tadi harus dateng?"

Alvi meremas genggaman pada setir, mencoba menyurutkan rasa kesalnya.

"Gimana bisa gue pura-pura nggak tau kalo lo lagi sendirian nunggu di kedai tanpa kejelasan dari temen lo. Gue nyamperin lo juga karena searah sama jalan gue yang dari toko hp. Mampir nggak salah, kan? Mana tau lo butuh bantuan gue. Tapi kayaknya gue salah, ya?"

Hello A : Alvino & AlulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang