50 - Dua Hari

7.7K 516 16
                                        

SETELAH meminta Lula menjadi pacarnya, Alvi tidak mampu menahan debaran jantungnya yang membabi buta di balik dadanya. Astaga, bahkan rasanya Alvi lupa bagaimana caranya menarik napas dengan baik.

Alvi sudah mengantar Lula pulang, tentu di sepanjang perjalanan mereka di selimuti oleh kebisuan. Lula diam pada pikirannya, dan Alvi sendiri diam karena menahan debaran jantungnya. Tapi entah mengapa, sejak sepuluh menit lalu ia mengantar Lula pulang, ritme jantungnya tidak kian membaik.

Setelah ini, Alvi tidak yakin dapat tidur dengan baik.

"Bisa kagak sih lo tenang bentaran?" rutuk Alvi pada jantungnya yang tidak berhenti berdetak cepat, "tiga hari lagi, baru lo boleh deg-degan." ujarnya lagi.

Alvi merebahkan tubuhnya di tempat tidur dengan posisi menatap langit-langit kamar. Wajahnya memanas jika di ingatkan kembali tentang bagaimana ia mengajak Lula berpacaran. Tidak ada bucket, tidak ada lilin berbentuk love, tidak ada lagu untuk menambah kesan manis, tidak ada sorakan teman-teman agar Lula menerima cintanya, tidak ada pula persiapan lebih untuk mengajak Lula mengikat status.

Intinya, malam ini Alvi tidak ada romantis-romantisnya.

Apa yang lebih buruk dari meminta seseorang menjadi kekasih di parkiran mall pada malam hari?

Alvi berulang kali merutuki bibirnya yang lepas kendali. Bagaimana bisa ia berkata pacaran yuk? dengan mudah. Pasti Lula sangat terkejut mendengar hal tak terduga seperti itu. Ia memang ingin memperjelas hubungannya dengan Lula, tapi sungguh, ini jauh di luar dugaannya.

"Deg-degan mulu lo anjir, bisa-bisa copot duluan ntar sebelum denger jawaban Alula." celoteh Alvi masih pada jantungnya, lalu memposisikan diri duduk di tempat tidur. Tangannya basah akibat jantungnya tidak berhenti berdesir.

Alvi mengacak rambutnya, berguling-gulingan di tempat tidur agar merasa nyaman, begitu seterusnya hingga tubuhnya mendarat tepat di lantai.

"Bego! Gue ngapain sih elah!" decak Alvi kesal sendiri, "cukup ganteng aja, Al, bego jangan." gumamnya pada diri sendiri.

Alvi meraih ponselnya, membuka kontak dengan nama Prioritas, lalu sudut bibirnya tertarik membaca sederet nama kontak itu. Tangannya mengetik sesuatu di layar ponsel, tapi tidak lama setelah itu kembali dihapus.

Alvi kembali mengacak rambutnya, kali ini terlihat lebih berantakan, kemudian mendecak, "Ah, jadi canggung sendiri kan!"

Alvi beranjak menuju pintu kamar, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Suara film kartun di televisi mengisi seantero rumah, begitu pula suara Ve yang sedang bermain bersama barbie-barbienya. Tapi diantara suara-suara itu, telinga Alvi cukup peka mendengar suara Bunda yang sedang menelpon di dalam kamar.

"Dua minggu lagi?" itu suara Bunda yang pertama kali Alvi dengar setelah menuruni tangga.

"Ve jelek." sapa Alvi tidak ada manis-manisnya, ia menghampiri Ve yang tidak menangapinya sedikitpun. "Dih, pura-pura nggak denger."

Ve membenarkan rambutnya yang menutupi mata, lalu menoleh pada Alvi yang merebut barbienya. "Jangan di ambil!" rengeknya.

"Nggak kecepatan dua minggu? Repot mau ngurus ini-itu."

Alvi menoleh ke arah kamar Bunda setelah mendengar suara Bundanya yang terdengar gusar. Lalu kembali beralih pada Ve.

"Bunda ngomong sama siapa?" tanya Alvi pada adiknya.

Hello A : Alvino & AlulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang