KEDUANYA saling bungkam setelah duduk di bangku taman belakang rumah sakit. Diantara keduanya belum ada yang memberanikan diri untuk membuka suara lebih dulu. Si perempuan memilin jari tangannya sambil menatap sendu rerumputan yang tumbuh di taman. Si lelaki sendiri hanya memerhatikan air pancur yang berada di tengah taman.
Helaan napas berat terdengar diantara keheningan, membuat Lula melirik dari ekor matanya, tidak berani menoleh secara terang-terangan. Lagi-lagi hanya mampu memerhatikan, seperti tidak memiliki kuasa untuk mengeluarkan suara untuk bertanya 'ada apa?'.
"Alula,"
"Deon."
Keduanya menoleh dan saling melempar pandang, dan secara bersamaan pula mereka kembali menoleh kearah lain.
Deon membuang napas pendek kemudian berdeham, "Sori kalo tadi gue buat lo panik,"
"E-enggak, kok." sergah Lula cepat tanpa menolehkan kepalanya, gugup sendiri.
"Seharusnya gue nggak nelpon lo."
"Hah?" Lula refleks menoleh, "Tapi kamu... baik-baik aja, kan?" tanya Lula sambil memiringkan sedikit kepalanya menghadap kearah Deon yang masih menunduk.
Deon berdeham dan mengangguk, "Gue merasa jauh lebih baik sekarang," dan menoleh kearah Lula.
Lula refleks mengalihkan pandangan lurus kedepan, "Kenapa nelpon aku?"
Deon menyeringai tipis, "Gue juga binggung," lalu terkekeh, "Satu-satunya nama yang pertama kali muncul di kepala gue cuma lo."
"Tau nomor aku darimana?" Lula kembali bertanya, karena sejak awal pertemuan mereka di kedai, ia tidak meninggalkan kontak apapun pada Deon.
"Hapal," jawab Deon seadanya, "Ternyata lo nggak ganti nomor."
Mengetahui fakta bahwa Deon masih mengingat nomor ponselnya di luar kepala, Lula menunduk sambil mengulum senyum yang merekah di bibirnya, seperti pelit tidak ingin berbagi senyumnya pada Deon hari ini.
"Kamu bilang Tante Maya drop? Beliau sakit apa?"
Hening.
"Gagal ginjal."
Senyum yang merekah di bibir Lula langsung sirna, tergantikan dengan ekspresi luar biasa terkejut. Mendengar dua kata itu, seperti ada yang menarik paksa jantungnya untuk keluar, dan seakan tubuhnya di dorong begitu saja dari bangunan paling tinggi, sampai tidak merasakan lagi kalau saat ini dirinya sedang berpijak di tanah, atau sedang mengambang di udara.
"Deon?" panggil Lula dengan suara rendah, masih terlihat shock.
"Kaget, ya?" Deon tersenyum masam, tidak menoleh kearah Lula, "Mama keluar masuk rumah sakit terus hampor tiga bulan belakangan ini, belum dapetin pendonor ginjal yang sesuai. Gue beneran nggak tau kalo Mama punya penyakit parah, beliau baru ngasih tau satu bulan belakangan ini, itu juga pas Mama udah di rumah sakit. Gue beneran panik dapet telepon dari rumah sakit kalo Mama drop lagi. Padahal baru kemaren gue liat dia baik-baik aja." Deon menunduk lalu terkekeh samar.
Lula bergeming, sama sekali tidak mampu mengeluarkan suara.
"Seandainya dari awal gue tau, gue lebih milih buat tinggal sama Mama daripada ikut Papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello A : Alvino & Alula
Fiksi RemajaAwalnya, Alvino tidak mengenal Alula. Awalnya, Alula tidak ingin mengenal Alvino. Namun pada akhirnya, awalan tersebut berubah ketika Alvino dan Alula dipertemukan pada insiden kecil di kantin sekolah. #94 in TeenFiction [28/10/18] #2 in FiksiRema...