"Maksud lo apa?"
Deon menggeram namun berusaha bersikap tenang walau jelas seseorang di dalam telepon berhasil menguras emosinya.
"Deon, please. Ya ampun, lo gitu banget sama gue. Jemput yaaaa?" rengeknya di dalam telepon dengan suara kunyahan seperti sedang memakan ciki-ciki.
"Siapa lo berani nyuruh-nyuruh gue?!" Deon naik pitam, mendengar suaranya saja membuat darahnya mendidih.
Terdengar helaan napas di dalam telepon, "Gue rela pindah kesini demi lo, terus lo nggak mau dateng ke Apartemen jemput gue? Oke fine, gue bilang aja nanti ke bokap kalo gue berubah pikiran."
Deon menggengam setir kuat, lalu mengusap wajahnya kasar. Perempuan ini seperti memegang kendali kartu AS-nya. Membuatnya tidak berdaya walau hanya sekedar menolak. Deon menghela napas berat sebelum akhirnya memutar balik setir mobil, menembus arah berlawanan dari jalan seharusnya.
"Lo ngancem gue?"
"Enggak, cuma ngomong doang." katanya pongah.
Deon menggertakan gigi jengkel, "Apartemen lantai dan nomor berapa?" tanyanya mengalah.
"Oh.., jadi lo mau kesini?"
Deon dapat mendengar jelas suara cekikian di dalam telepon, yang ia yakini kalau perempuan ini sedang tertawa penuh kemenangan.
"Atau gue berubah pikiran." ancam Deon kemudian.
Perempuan di dalam telepon berhenti tertawa, "Wait, Deon. Iya-iya, jangan marah gitu dong. Apartemen nomor 103 di lantai lima."
Tut.
Deon mematikan telepon secara sepihak tanpa kata penutup kemudian memukul setir dan mengerang kesal. Deon sangat menyesal telah memohon sesuatu yang tidak seharusnya, perempuan itu menjadi lebih berani memanfaatkan kesempatan untuk mengancamnya.
Sialan.
Namun bagaimana pun juga, Deon membutuhkan perempuan itu supaya bisa kembali dan menetap di Indonesia.
Deon menutup pintu mobil keras setelah berhasil memarkirkan mobil secara asal di perkarangan Apartemen. Ia berjalan tergesah masuk ke bangunan Apartemen dan menunggu dengan kesal pintu lift terbuka.
Ternyata, moodnya semakin berantakan setelah melihat siapa yang berada di balik pintu lift.
Apa yang baru saja Deon lihat? Tangan si perempuan merengkuh mesra pinggang si pria? Lalu tangan si pria merangkul mesra pundak si perempuan?
Ha-ha-ha, sialan.
"Deon?"
Seolah mendapatkan kesadarannya, Deon berdeham, lalu melempar pandangan ke sembarang arah.
Lula refleks melepaskan tangannya dari pinggang Alvi, sedangkan Alvi semakin mengeratkan rangkulannya.
Lula tampak cangung, "Kamu ngapain disini?" tanyanya.
"Ada urusan." Deon melirik sekilas kearah Alvi, "Lo sendiri?" tanyanya balik pada Lula namun matanya menatap Alvi.
"Aku..." Lula tergagu, "Main."
"Main?" Deon membeo, kata 'main' sangat ambigu ditelinganya. Ditambah kini masih jam sekolah, bahkan mereka berdua masih mengenakan seragam sekolah. Anak SMA mana yang main di apartemen dijam seperti ini? Deon melemparkan tatapan penuh selidik sekaligus curiga, "Nggak sekolah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello A : Alvino & Alula
Novela JuvenilAwalnya, Alvino tidak mengenal Alula. Awalnya, Alula tidak ingin mengenal Alvino. Namun pada akhirnya, awalan tersebut berubah ketika Alvino dan Alula dipertemukan pada insiden kecil di kantin sekolah. #94 in TeenFiction [28/10/18] #2 in FiksiRema...