"Nomor yang anda tuju tidak menjawab-"
Deon mendesah. Lebih memilih mengakhiri sambungan saat lagi-lagi suara operator yang menyambutnya. Entah sudah berapa kali nomor yang dihubunginya tidak menjawab. Tidak ingin menduga-duga, namun batinnya berkata bahwa si pemilik nomor memang sengaja tidak menjawab panggilannya.
"Nomor yang anda tuju-"
Tut.
Deon mengusap wajah gusar, "Astaga." desahnya putus asa. Kakinya melangkah menuju jendela dan menyibakan gorden, lalu mengumpat kasar melihat derasnya hujan di luar sana. Dengan rasa kesal, Deon kembali menutup kasar gorden yang sempat dibukanya.
Sejak pulang sekolah tiga jam lalu, hujan semakin menjadi-jadi menghantam bumi. Dikeadaan hujan sederas ini, sangat tidak memungkinkan untuk menemui Lula di rumahnya. Yang ada, Lula akan menutup telinga tanpa peduli Deon berbicara.
Deon mendesah berat, "Gue harus gimana lagi." gumamnya pelan sembari mengusap wajah.
Kakinya kemudian melangkah mendekati kumpulan frame foto dirinya dan Lula dari tahun ke tahun yang terpajang di dinding kamarnya. Foto-foto tersebut dijadikan dalam satu bingkai besar yang sewaktu-waktu bingkai itu dapat dibuka kembali jika memiliki koleksi foto baru. Dari foto masa kecil, hingga foto mereka beranjak dewasa semuanya ada di dalam bingkai tersebut.
Iris mata Deon menyendu, ingatannya terlempar ke kejadian bagaimana foto-foto ini dapat terabadikan. Jika melihat itu, sama seperti melihat kenangannya dengan Lula namun terpampang dalam bentuk sebuah foto. Senyum dan tawa Lula di dalam foto-foto itu begitu tulus, rona bahagia terpapar nyata ketika Lula bersamanya dulu. Dadanya tiba-tiba berdenyut, ada sedih yang tidak dapat dijelaskan ketika mengingat mereka dulu pernah sedekat 'itu' sebelum akhirnya sejauh sekarang.
Ternyata waktu memang semengerikan itu. Dalam sekejap dapat mengasingkan perasaan manusia. Yang dulunya begitu dekat, dapat berbuah menjadi dua orang asing seolah tidak pernah mengenal satu sama lain.
Mata Deon berhenti disudut kanan bawah bingkai yang kosong belum terisi foto. Bukan karena tidak memiliki stok foto untuk ditempel disana. Melainkan karena permintaan sederhana Lula yang membuat Deon membiarkan tempat itu kosong sampai detik ini.
"Disini jangan diisi foto apapun ya," Lula mengetuk pelan kaca bingkai foto sembari menatap Deon, "tempat ini khusus buat foto kelulusan SMA nanti. Terus disampingnya foto aku pake toga wisuda." sambungnya dengan cengiran.
Deon hanya berdeham.
Lula menoleh pada Deon, "Pas aku wisuda jangan lupa bawain bunga gede."
"Nggak."
Lula cemberut, "Pokoknya jangan diisi, awas aja, aku bakalan marah kalo kamu coba-coba nempel foto yang lain!"
Deon menatap Lula datar, "Masih lama. Baru juga masuk SMA. Lagian nanti bisa beli bingkai baru kalo penuh." timpalnya.
Lula menggeleng, "Nggak." tolaknya mentah-mentah.
"Emangnya kenapa?" tanya Deon penasaran.
"Kok nggak ngerti, sih?" Lula menggerutu sebal sebelum akhirnya melanjutkan, "Foto kelulusan SD, SMP semuanya ada di bingkai ini, masa foto kelulusan SMA di bingkai lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello A : Alvino & Alula
Roman pour AdolescentsAwalnya, Alvino tidak mengenal Alula. Awalnya, Alula tidak ingin mengenal Alvino. Namun pada akhirnya, awalan tersebut berubah ketika Alvino dan Alula dipertemukan pada insiden kecil di kantin sekolah. #94 in TeenFiction [28/10/18] #2 in FiksiRema...