SETELAH mendapat pesan singkat dari Nat yang berisi ingin bertemu dengannya ditaman belakang sekolah, Lula langsung menuju ke tempat yang telah disepakati setelah bel istirahat berbunyi. Selama bersekolah disini, Lula baru tahu kalau sekolahnya memiliki kolam ikan. Bahkan dugaannya taman belakang sekolah identik dengan rumput liar dan anak-anak rusuh berkumpul untuk merokok, ternyata dugaannya melesat jauh. Apa yang ada di depan matanya kini jauh dari bayangannya, banyak sekali siswa siswi duduk sembari bercengkrama.
"Lula." Suara itu menyadarkan Lula hingga menoleh dan mendapati Nat, "Udah lama, ya? Maaf ya, gue yang buat janji tapi gue yang telat." ungkap Nat menyesal.
Lula menggeleng dengan senyum, "Baru aja." katanya jujur, matanya kembali melihat sekeliling, "Gue baru tau ada taman kayak gini disekolah."
Nat ikut mengedarkan matanya, lalu tertawa kecil, "Lo sih betah banget di kelas, sampe ke kantin aja nggak mau." ujarnya.
Lula meringis mendengar fakta itu, "Lo tau darimana?" tanyanya. Sebab seingat Lula tidak pernah menceritakan apa-apa pada Nat. Mereka pun jarang bertemu di sekolah maupun diluar.
"Dari Alvi."
Ternyata nama Alvi masih sedemikian sensitifnya bagi Lula, padahal sudah satu bulan lebih kepergiannya. Mendengar nama Alvi mampu merubah garis-garis wajahnya. Bibir yang awal melengkung sempurna bisa menurun seketika.
Menyadari itu Nat merangkul lengan Lula dan membawa ke bangku taman, "Gue mau ngomong sesuatu." katanya.
Setelah keduanya duduk barulah Lula menyahut, "Apa?"
Hampir satu menit Nat tidak bersuara. Bukan karena sengaja mengulur waktu, hanya saja Nat tidak tahu harus memulai darimana. Lula masih setia menunggu tanpa mendesak ingin tahu, kemudian Nat menggengam hangat tangan Lula.
"Jangan benci Alvi."
Awal percakapan yang cukup kuat menghentak dada Lula.
"Gue nggak tau harus mulai ceritanya darimana," Nat mendesah, wajahnya kebingungan sendiri, "Kita mulai dari Deon." Lula mengernyitkan alisnya, "Deon berencana mau balik ke Australia lagi." sambung Nat gusar.
Lula terkejut. Reaksinya persis seperti dugaan Nat. Oleh sebab itu Nat langsung melanjutkan sebelum Lula salah sangka mengartikan semuanya.
"Awalnya Deon mau mundur, dia nggak mau nyakitin lo lagi, dia nggak mau rusak hubungan lo sama Alvi lagi. Makanya Deon mutusin pulang ke Australia." Nat melirik Lula yang wajahnya pucat pasi, "Lo jangan marah dulu, ya. Stop ambil kesimpulan sendiri. Gue bukannya mau nyudutin lo, La, enggak sama sekali." Nat menggengam tangan Lula erat, "Tapi coba lo renungin semuanya, masalah-masalah ini jadi gede karena pikiran lo sendiri. Semuanya jadi kacau karena lo egois. Lo egois nggak mau dengerin penjelasan Alvi atau Deon. Seandainya lo dengerin mereka...," Nat menunduk, bibirnya bergetar. Hatinya terasa seperti disayat ketika mengatakan, "Mungkin Alvi masih disini."
Lula terdiam. Otaknya mencerna. Satu persatu sarafnya seperti digunting oleh pisau tak kasat mata.
"Lo tau kenapa Deon masih disini?" tanya Nat pelan, matanya menatap Lula dalam. "Karena Alvi pergi." gengaman Nat berubah menjadi remasan, "Kalo seandainya gue nggak bilang sama Deon kalo Alvi pindah ke Belanda, mungkin lo juga bakal kehilangan Deon. Nggak cuma satu tapi dua. Lo kehilangan dua orang sekaligus." emosinya naik, menggebu-gebu hingga meradang, matanya berkaca-kaca. Ini bukan masalahnya, namun Nat dapat merasakan sakitnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/121968543-288-k615118.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello A : Alvino & Alula
Ficção AdolescenteAwalnya, Alvino tidak mengenal Alula. Awalnya, Alula tidak ingin mengenal Alvino. Namun pada akhirnya, awalan tersebut berubah ketika Alvino dan Alula dipertemukan pada insiden kecil di kantin sekolah. #94 in TeenFiction [28/10/18] #2 in FiksiRema...