70 - Hurt

4.5K 439 97
                                    

Ps: Dengerin deh lagunya, nyentuh dan enak banget didenger.

-----

MATA yang semula terpejam, kini terbuka secara perlahan. Yang menyambutnya pertama kali adalah sinar lampu menusuk tajam kornea matanya. Lula mengerap pelan, matanya menyipit, lalu berpaling ke jendela kamar.

Hujan.

Di luar sana hujan. Suara gemercik air diatas genteng menambah kesan menenangkan. Lula yang semula terlentang, kini tidur menghadap jendela kamar. Kemudian mengeratkan selimut yang dipakainya.

Tidak biasanya pagi-pagi Jakarta diguyur hujan. Setelah berhari-hari kota keras ini ditemani oleh matahari, hujan seolah-olah berbaik hati datang meredamkan panasnya bumi.

Kelopak mata Lula berubah sayu, pupil matanya meredup menatap rumah besar didepannya yang kini tak berpenghuni. Setiap kali melihat rumah itu, ingatannya terlempar pada kejadian-kejadian yang terekam bersama si penghuni rumah. Setiap kali mengingatnya, perasaannya kembali terasa perih. Luka yang ia coba tutup rapat-rapat seakan dengan mudah kembali terbuka.

Ah, sakitnya masih sama. Yang berbeda hanya kini Lula mulai menerima kenyataan bahwa semuanya telah berbeda. Semuanya tidak lagi sama.

Selain melupakan Alvi, Lula menambah satu hobi baru yaitu tidur. Entah sejak kapan ia menyukai tidur. Menurutnya, dengan tidur dirinya akan melupakan semua masalah dan tidak mengingat apa pun yang membuatnya kembali melamun.

Namun, Lula tidak dapat membohongi perasaannya sendiri jika dirinya masih sering menaruh harapan kalau Alvi akan kembali. Ia pun tidak menyangkal kalau dirinya kerap kali menunggu kabar dari Alvi.

"Belanda jauh. Disana bahkan banyak cewek yang jauh lebih cantik dari lo. Harusnya lo sadar, ngapain sih nunggu kabar yang nggak pasti? Mungkin aja Alvino udah nggak ada rasa lagi sama lo. Come on Alula!"

Berkali-kali Lula menampar dirinya sendiri dengan kenyaatan itu. Tetapi lagi-lagi ia hanya tersentak sejenak, ketika pikirannya kosong siluet wajah Alvi berlomba-lomba menyusun memori yang membuatnya kembali terpukul.

Karena pada dasarnya, cara melupakan paling baik adalah tetap mengingatnya tanpa berusaha keras melupakan.

Namun kenyataannya, mengingat atau melupakan Alvi sama-sama menyakiti perasaannya.

"La," suara itu menghamburkan lamunan Lula, kepalanya menoleh ke pintu kamar yang terbuka menampakan sosok tinggi kakaknya yang baru bangun tidur, "Hari ini upacara. Masuk jam tujuh."

Lula mengucek matanya, berakting seolah dirinya terbangun karena Zio, "Iya tau." gumamnya serak.

Zio menguap, "Kirain lo lupa karena kelamaan libur." cibirnya yang membuat Lula mendengus.

"Lagian hujan. Pasti nggak upacara. Dateng telat aja." ujar Lula malas, ia kembali meringkuk dibalik selimut sembari memejamkan mata.

Zio menatap heran, biasanya Lula paling anti masalah telat sekolah, "Sejak kapan lo jadi pemales begini? Biasanya merengek kalo telat."

"Sejak hari ini." balas Lula masih dengan mata terpejam.

Zio mendengus, "Kalo gitu gue nggak mau berangkat sama orang pemales." tekannya. Terdengar seperti ancaman.

Hello A : Alvino & AlulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang