62 - Pindah Sekolah

9K 633 102
                                    

TIDAK terhitung lagi sebanyak apa rintik hujan jatuh ke bumi. Membasahi tanah hingga membentuk genangan air dimana-mana. Sejak dua jam lalu hujan turun mengguyur panasnya kota Jakarta. Selama itu pula hujan sudah menemani keterdiaman seseorang di atas rooftop ini.

Alvi duduk termagu di kursi panjang yang tersedia di teras rooftop, sepatu putihnya sedikit basah terkena percikan air hujan, meski tahu sepatunya basah, namun Alvi tak berniat beranjak pergi, lebih memilih menikmati sepi yang membungkus dirinya.

Sekolah sudah di bubarkan sebelum hujan turun. Setelah pembagian nomor ujian, Alvi melarikan diri ke atas rooftop tanpa memberitahu siapapun. Bahkan, puluhan telepon masuk ke ponselnya diabaikannya begitu saja. Sebab yang dibutuhkannya saat ini bukanlah teman, melainkan waktu.

Waktu untuk mencerna semuanya.

Satu masalah belum selesai, mengapa Tuhan tega mendatangkan masalah lainnya?

Tidak bisakah Tuhan memberinya sedikit waktu untuk menyelesaikan semuanya?

Alvi menghela napas berat. Melepaskan berton-ton beban dipundaknya. Namun yang dirasakannya hanya sesak, serta rasa berat yang terkurung di kepalanya.

Bagaimana Alvi menjelaskan pada Lula mengenai taruhan itu sedangkan Lula sendiri tidak mau bertemu dengannya lagi?

Belum lagi, Alvi harus memohon pada Ayah dan Bunda agar dirinya tidak ikut ke Belanda.

Alvi mengusap wajah gusar. Sudah dua jam ia terduduk disini namun tak ada apapun yang dapat dipikirkannya. Alvi tidak bisa berpikir sekarang. Alvi tidak tahu harus bagaimana lagi. Kepalanya ingin pecah memikirkan semuanya. Memikirkan masalahnya dengan Lula, juga masalah kepindahannya.

Tadi, waktu pembagian nomor ujian, nomor ujian Alvi ditahan oleh Bu Risma. Awalnya Alvi tidak peduli pada nomor ujian itu, ia sama sekali tidak peduli jika tidak mengikuti ujian. Tidak naik kelas sekalipun Alvi malah bersyukur, dengan begitu Ayah pasti berpikir dua kali untuk mengajaknya pindah. Namun sayangnya, niat buruknya hancur berantakan ketika Bu Risma menghampirinya langsung di kelas.

"Memangnya kamu ini siapa? Anak raja?" Bu Risma mendengus keras setelah mendudukan diri di kursi ruangannya, lalu membenarkan posisi kacamatanya yang melorot, "Di minta ke ruangan saya apa susahnya, sih?!" omelnya sembari menatap Alvi jengkel.

Alvi yang berdiri di depan meja Bu Risma hanya melengos acuh, "Saya nggak tau kalo Ibu panggil saya." alibinya, "Kalo cuma mau ngomong itu mending saya keluar."

Bu Risma meletakan kacamatanya di meja lalu memijat pangkal hidungnya. Belum ada lima menit bersama Alvi sudah membuat kepalanya berdenyut, "Apa kamu nggak mau ambil nomor ujian sama saya?" katanya berusaha menurunkan intonasi suaranya. Sebisa mungkin menahan kesal di dadanya.

Alvi benar-benar tidak berminat adu mulut dengan Bu Risma, perasaannya saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja, "Ya udah, Bu, mana nomor ujian saya?" Alvi menyodorkan tangan kosong di hadapan Bu Risma.

"ALVINO!"

Dalam keadaan seperti ini Alvi bisa saja mengobrak-abrik isi ruangan ini. Kepalanya ingin pecah dan suasana hatinya semakin memburuk. Yang ada dipikirannya sejak tadi hanyalah Lula. Cewek itu benar-benar tidak ingin mendengarkannya lagi. Dan sekarang, Bu Risma semakin memperparah suasana hatinya.

Hello A : Alvino & AlulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang