Kita cukup begini saja, bukan? Tak perlu saling bertukar sapa, karena memang tak ada yang perlu kita sapa. Kita bukan lagi orang yang mengenal satu sama lain. Kita adalah orang asing yang kembali menjadi orang asing ketika melewati fase perkenalan yang munafik itu. Bukan kah begini? Jadi, tak apa, bukan?
Katanya membenci pasti akan berujung pada rasa ingin memiliki. Betul, kah? Jika iya, maka aku ingin membencimu. Aku ingin membencimu, benar-benar membencimu. Jika begitu, maka aku tak perlu repot-repot bejuang yang ujungnya sia-sia. Seperti kita. Jika aku tahu begitu kenyataannya, dulu aku tak ingin langsung melabuhkan hatiku padamu. Aku ingin membencimu dengan segenap hati, hingga akan berakhir dengan memilikimu segenap hati.
Tapi, kita sampai di sini. Sekeras apapun aku menyakini bahwa perandaianku dapat merubah keadaannya, maka tak ada yang bisa diubah. Kita sudah selesai. Kita sampai pada bab terakhir, yang menjadi akhir dari sebuah buku yang aku tulis denganmu. Tak ada lagi kata kita. Kita terpisah. Lebih tepatnya, kata 'aku dan kamu' lebih cocok. Tapi, maaf. Tak perlu, kan, mengungkit masalah yang sudah selesai ini?
Maka, pergilah. Cari kebahagiaanmu yang sempat tertunda karna kehadiranku yang mungkin mengusikmu. Aku tak akan mengganggumu lagi. Tak usah repot-repot memberiku sebuah benda terakhir, karena, toh, aku juga akan melupakanmu. Lupakan lah saja aku. Karena aku tak penting bagimu, bukan? Berbahagia lah dengan lega. Karena aku tahu, dengan aku yang berjalan di sampingmu, kamu tak merasa bahagia.
—1.40am
KAMU SEDANG MEMBACA
Today.
PoetryAku menyudahi segalanya. Baik tentangmu, maupun tentang kita. Karena kita sudah selesai. Tak ada lagi cerita yang mengisahkan tentang kita dalam bab baru. Aku melepasmu pergi dengan yang lain. Terserah kamu mau berbuat bagaimana, yang penting aku me...