Lem Perekat

193 5 1
                                    

Pertemuanku denganmu berjalan singkat. Hanya beberapa menit, namun mampu menyihir semua yang ada di alam semestaku. Pertama kali, namun mampu mengubah segalanya.

Matamu indah. Menatapku seraya lekukan senyummu yang membiusku. Gaya bicaramu yang sangat aku kagumi, menambah lem perekat untuk menempelkan namamu dalam buih pikiran.

Namun, aku tahu ada masa lalu kelam bersembunyi di balik tubuhmu yang sedang bersiap-siap menelanmu kala kau tersungkur. Aku juga tak tahu mengapa kamu mampu berkamuflase sehebat itu. Senyummu tak menampakkan laramu. Matamu jujur, seolah-olah kamu adalah manusia sempurna yang tak pernah jatuh. Apakah aku yang salah melihatnya, ya?

Iya, terserah saja aku mau beropini bagaimana. Namun, mau kah kau aku tuntun?

Barangkali kita bisa saling membalut luka. Barangkali kita bisa saling membasuh pilu. Barangkali kita bisa saling menuntun bila tersesat. Barangkali kita bisa saling memapah kala tersungkur. Apakah kau mau? Tak apa. Jangan dijawab sekarang. Aku juga tahu ada rumah yang sedang kau huni meski aku tahu kamu enggan untuk singgah. Tapi aku tak tahu mengapa kamu begitu. Aku tahu kamu ingin hengkang. Tapi tak mau pindah, kan?

Kamu tak mau mengemasi barang-barangmu untuk kau masukkan ke dalam koper, kan? Kamu hanya ingin liburan. Yasudah. Tak apa. Mari berlibur bersama. Aku juga sedang penat di rumah ini. Mari, nanti aku belikan lem perekat untuk menyatukan kembali puing hatimu itu. Satu kaleng, untuk berdua. Apabila setengah tak cukup, kamu bisa mengambil bagianku. Biarkan aku merekatkan hati dengan senyummu saja. Cukup. Bahkan lebih dari cukup.

—12.22pm

Today.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang