46. Siapa yang Galau?

1K 137 34
                                    

KENZIE memasuki dapur ketika didapatinya Bi Wati yang tengah mengaduk seduhan teh di dalam cangkir. Mengurungkan niatnya mencari camilan di lemari es, Kenzie beringsut ke samping asisten rumah tangganya itu dan bertanya, "Itu teh buat baba, ya, Bi?"

"Iya, Mas," sahut Bi Wati diiringi senyum serta anggukan kepalanya. "Bibi antar dulu ke kamar bapak, ya, Mas."

"Tunggu, Bi. Biar aku aja yang anterin." Kenzie menahan baki yang hendak diangkat Bi Wati.

"Tapi, Mas ...."

"Udah, nggak apa-apa. Bibi sekarang istirahat aja."

Tahu tugasnya akan diambil alih, Bi Wati masih merasa tidak enak hati. Namun, di detik berikutnya, Bi Wati kembali tersenyum ketika ia tidak bisa menolak permintaan putra majikannya itu. Lagi pula, mana mungkin Bi Wati menghalangi seorang anak yang ingin berbakti kepada orang tuanya dengan menyuguhkan minuman hangat.

Kenzie mengetuk pintu kamar babanya dengan tangannya yang bebas. Ia memasuki kamar berpintu jati itu begitu mendengar suara babanya dari dalam. Terlihat babanya duduk di sofa bed sambil membolak-balik lembaran berkas di tangannya. Sementara di atas coffee table depan sofa bed, setia bertengger sebuah laptop yang masih berada dalam keadaan menyala.

"Lho, kok, kamu yang antar minumannya?" tanya Adib begitu melihat kalau Kenzie yang memasuki kamarnya.

"Ya, nggak apa-apa dong, Ba," balas Kenzie seraya meletakkan cangkir teh dengan alas piring kecil itu di dekat laptop, lalu ikut duduk menyebelahi babanya di sofa bed. "Tafadhol, ya Baba."

"Syukron. Pintar sekali jagoan baba."

Kenzie hanya menyengir ketika babanya mengusap-usap puncak kepalanya. Babanya lalu meraih gagang cangkir dan mulai menyeruput teh beraroma melati kesukaannya itu.

Perhatian Kenzie sedikit melirik layar laptop babanya. "Hal Baba mashghul?" tanya cowok itu yang sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan lagi tentang seberapa sibuk babanya dengan hanya melihat tampilan layar laptop itu.

"Na'am, ada beberapa data yang mesti baba kerjakan. Terus kamu sendiri, kenapa belum tidur? Sudah jam berapa ini, hm?"

"Belum ngantuk." Kenzie menyahut sekenanya. Kepalanya sudah ia jatuhkan pada sandaran sofa bed dengan lesu. Iseng saja tangannya mengambil salah satu tumpukan berkas yang berserakan di sofa bed. Dibolak-baliknya berkas berisi laporan kerja proyek pengerjaan babanya itu tanpa minat. Namun, Kenzie sadar cepat atau lambat, berkas-berkas semacam ini yang mau tak mau harus dihadapinya setelah tiba waktunya nanti ia akan terjun juga ke perusahaan.

Untuk kesekian kalinya Kenzie merasa dirinya tengah berdiri di antara dua jalan yang bercabang. Antara mengikuti harapan babanya supaya kelak bisa belajar bisnis atau mencoba memperteguh impian terpendamnya.

Sungguh, Kenzie sudah berusaha menerima rencana karier yang dirancang babanya sejak tiba pernyataan bahwa dirinyalah calon penerus babanya di perusahaan. Sementara jauh di lubuk hatinya yang terdalam ia juga tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa ada satu impian yang ingin diraihnya.

Lalu pertanyaannya, apakah di masa depan seorang anak harus selalu mengikuti keinginan orang tua sebagai bentuk bakti karena sudah mengurus dan membesarkannya?

Kenyataannya, Kenzie tidak sefokus Sakha yang menyenangi dunia literasi hingga mampu secara gamblang mengutarakan cita-citanya saat ingin menerbitkan banyak buku spiritual seperti buyanya sambil terus mengemban dakwah.

Kenyataannya, Kenzie juga tidak setegas Erlang yang sejak kecil sudah mengidolakan papanya sebagai seorang polisi hingga bercita-cita sama.

Atau minimal kenyataannya, Kenzie tidak sepercaya diri Juki yang biarpun muka pas-pasan, tetapi usahanya mengkhayal tingkat tinggi menjadi seorang cover boy tetap wajib diacungi jempol.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang