DI SALAH SATU deretan kursi panjang pinggiran jalan setapak taman rumah sakit itu tampaklah seorang anak berseragam SMP yang belum kunjung menuntaskan jemunya sekalipun hanya berdiam duduk sendirian. Malam yang kian pekat menggiring angin malam bertiup kian kencang. Entah kenapa ia jadi ingin menyesali baju seragamnya yang demikian ketat. Bahkan ujung rok birunya tak mampu menutupi paha bawahnya yang baru saja disapa angin.
Sekiranya mega mendung yang bergulung di kaki langit itu pun sudah tidak sabar memuntahkan muatannya. Salahkah jika ia berharap hujan jangan turun? Atau tidak apa-apa turun. Toh, hujan hanya berupa titik-titik air dan bukannya batu, duri, beling atau semacamnya yang bisa melukai kulitnya. Badannya hanya akan basah dan mungkin demam setelah itu. Ah, seseorang di gedung rumah sakit itu saja masih terbaring. Haruskah ia juga ikut-ikutan sakit karena hujan-hujanan nantinya?
Daun telinganya menegak. Suara langkah kaki diikuti bayangan seseorang yang mendekati tempat duduknya menarik kewaspadaannya. Sepasang kaki bersepatu kanvas kini sudah berhenti tepat di sampingnya. Cewek itu mencoba mendongak. Penerangan lampu taman masih dapat memperlihatkan wajah kakaknya yang kini mulai ikut mengambil posisi duduk di ujung lain kursi.
Citra Ayustika Kemilau, cewek berstatus pelajar SMP itu diam-diam bernapas lega. Kakaknya tidak mungkin akan menyakitinya. Namun, rasa takut itu masih merasukinya. Bagaimana kalau kakaknya masih marah dan akan membentaknya lagi?
"Sebaiknya kamu pulang," cetus Erlang setelah dua menit berlalu tanpa ada pecah suara. Tak mendengar sahutan, cowok itu melanjutkan, "Aku udah bilang ke temanku yang tadi bantu kita bawa papa ke rumah sakit, nanti kamu biar diantar pulang sekalian sama dia."
Masih tidak ada sahutan Citra.
Erlang berkata lagi, "Mama sama Lala masih dalam perjalanan ke Semarang diantar Bude Marta dan Pakde Yusuf. Aku tahu kamu capek. Kamu istirahat aja di rumah. Nggak usah nungguin mama. Soal papa juga biar aku yang jagain di sini."
Hening.
"Ini, sekarang kamu makan dulu. Dari tadi sore belum makan, kan?" Erlang mendorong bungkusan plastik berisi roti dan air mineral kemasan botol itu ke samping tubuh Citra.
Bertahan dengan kebungkamannya, Citra hanya mengabaikan bungkusan plastik itu.
Begitu pun Erlang. Sepersekian jeda waktu hanya terisi oleh desau angin yang berkisik pada pucuk dedaunan pohon. "Maafin Mas Erlang," lirih cowok yang masih menyisakan bekas sembap di sepasang matanya itu. "Maaf, karena Mas Erlang udah terbawa emosi. Mas kalap. Kamu jadi takut, ya?"
Seolah dapat merasakan desiran darah dalam ruas pembuluhnya, Citra malah semakin kelu mendengar perkataan Erlang yang parau, tetapi penuh nada kelembutan itu. Kenapa kakaknya yang meminta maaf? Sungguh, Citra tahu kakaknya tidak benar-benar salah. Tidak ada api jika tidak ada bahan bakar. Citra akui ialah yang memicu pertengkaran itu.
Erlang mendesah keras ketika ingin menertawai dirinya sendiri yang sedari tadi hanya seperti bermonolog. "Masih nggak mau ngomong sama Mas Erlang? Masa' iya yang duduk di sebelah mas ini boneka bidadari cantik." Tawa kecil lolos mengiringi kalimatnya yang dilontarkan dengan nada bergurau.
Bibir Citra sudah tidak mampu menahan getar isakannya. Pelupuknya yang sedari tadi sudah memberat, serta-merta meruahkan tanggul produksi air matanya.
"Mas Erlang ...." Tubuh mungilnya seketika menubruk bidang dada cowok berstatus anak sulung di keluarganya itu. Raungan tangisnya tak berhenti seiring ucapannya yang tersendat-sendat. "Mas Erlang, m-maafin ... a-aku juga, Mas. A-aku ... udah b-bikin Mas Erlang ... marah."
Citra memeluk Erlang sangat kuat. Uluran tangan kanan Erlang merangkul bahu adik perempuannya yang bergetar hebat itu. "Ssstt ... udah, jangan nangis. Mau, cantiknya dimakan ikan nanti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan berhijab demi memenuhi janji di hari ulang tahunnya yang tepat menginjak angka tujuh belas. Esensi berhi...