43. Penyesalan

1.1K 134 49
                                    

ADA gurat kerinduan yang tak sanggup ditepiskan ketika sepasang mata sayu itu masih setia mengawasi aktivitas seorang anak remaja berseragam SMA, meskipun hanya terlihat sedang menyapa, tertawa, maupun berangkulan akrab dengan teman-temannya di depan gerbang sekolah tersebut. Sekian lama kedua tangan ini begitu damba mendekap, pun damba terbalaskan dekapan. Bertahun-tahun serangkai kalimat kasih tak terhaturkan, melainkan hanya tersimpan di ujung lidah.

Sebutlah dirinya yang selama ini terlalu egois. Hatinya telah terbutakan oleh kemarahan. Sesingkat jalar api mengepung hawa nafsu yang terpecik bahan bakar emosi, lantas tanpa menaruh belas kasihan ia sanggup mengusir anak menantunya sendiri. Menghujat, menyalahkan, menuduh, dan mengecapnya dengan kata-kata berduri atas sesuatu yang bahkan di luar kuasa manusia biasa.

Sungguh, dirinya saja yang tidak sanggup menerima takdir. Segalanya terlambat ketika ia tiba. Putri bungsu kesayangannya sudah terbujur kaku tanpa pernah membuka kedua matanya lagi. Sedangkan, apa yang kemudian ia lakukan? Tangan yang seharusnya ikut memberikan usapan ketabahan, justru ia gunakan untuk menudingkan semua kesalahan itu ke depan muka suami putrinya sendiri. Lidah yang seharusnya dapat mengecap untaian penyemangat, justru menusukkan makian tak terkontrol kepada Adib, sang menantu yang dinilainya tidak becus menjaga istri serta calon bayi mereka.

Gelap mata sudah mengubur akal sehatnya dari mengingat betapa sebelumnya ia sangat membanggakan Adib. Seorang eksekutif muda yang penuh tanggung jawab, menaruh hormat kepada orang tua, terlebih yang begitu tulus mencintai putri bungsunya, Sevda. Restu penuh dari kedua pihak keluarga pun menjadi jalan pembuka yang manis dalam ikatan suci pernikahan mereka. Maka, jelas suatu kebohongan nyata jika Adib membiarkan Sevda dalam keadaan hamil besar itu bisa terjatuh dari tangga, nyaris keguguran, hingga pada akhirnya berujung maut.

Namun, sekali lagi gelap mata terlampau merajai nuraninya. Kala Adib pergi, cucunya pun ikut dibawa pergi. Bertahun-tahun tidak dikenal cucunya sendiri. Terpisah jarak, ruang, dan waktu yang diciptakannya sendiri. Di sisa usianya yang kian senja, ia terbunuh oleh keegoisannya sendiri. Patutlah kini ia merasakan hidupnya yang sepi sendiri.

Hingga baru tujuh tahun kemudian ia berhasil menemui cucu yang dirindukannya. Tetapi sayang seribu sayang, kala itu di mata sang cucu, kakeknya yang lain ini justru dianggap tak ubahnya monster jahat yang berhasrat memisahkannya dengan ayahnya. Masih terbayang bagaimana netra hijau itu menatapnya penuh ketakutan. Hatinya berselirat nyeri. Mungkin ia memang tidak pantas menjadi kakek.

Sepuluh tahun berlalu dan kini ia bisa melihat kembali cucunya yang sudah tumbuh menjadi remaja tampan itu. Tanpa berani mendekatinya lebih jauh dari balik kaca mobil yang terpakir di depan gerbang sekolah, ia sudah cukup senang dengan hanya mengetahui cucunya itu tampak bahagia bersama teman-temannya.

"Muzaffer, what is my schedule today?" tanyanya pada pria berjas hitam formal yang duduk di jok depan samping sopir.

"You have a symposium meeting at 8:30 in Lentera Diwangtara University Hospital. Do you want to postpone it, Sir?" Muzaffer yang menjabat sekretaris pribadi itu menjawab sambil mengecek kembali catatan di buku agendanya.

"No. We'll go there in ten minutes."

"Yes, Sir."

Setidaknya masih ada waktu sepuluh menit lagi baginya untuk sedikit menuang rindu, meskipun sosok sang cucu tiada lagi dijangkau oleh pandangan nanarnya. Ia memaklumi jika sampai detik ini cucunya belum bisa membuka hati untuk mau memaafkannya. Bahkan kado ulang tahun yang beberapa waktu lalu ia kirimkan melalui sekretaris pribadinya itu saja tidak mendapat tanggapan apa pun.

Oh, ia hanya ingin meminta maaf. Namun, kenapa sepertinya jalan itu harus menghadapi terjal?

Ya, tentu ia tahu bukan hanya kepada cucunya saja ia menyesali perbuatan bodoh di masa lalu itu, melainkan juga kepada Adib. Selama ini ia telah salah menilai menantunya itu. Seharusnya ia tidak meragukan cinta tulusnya.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang