45. Fakta

1.2K 155 37
                                    

AKHIRNYA PR bahasa Inggris tentang menuliskan pengalaman pribadi yang tentunya dalam bahasa Inggris selesai sudah dikerjakan Rissa. Mengingat-ingat sudah tidak ada lagi PR, Rissa langsung saja memasukkan buku-buku untuk pelajaran besok.

Rissa terkesiap ketika ia mendapati kotak pensil yang tak sengaja tersenggol tangannya sudah jatuh dari atas meja belajar dan menyebabkan isinya berhamburan keluar. Rissa beringsut ke bawah kursi dan berjongkok untuk merapikan kembali alat-alat tulisnya. Namun, bersamaan itu ada satu pulpen yang sebelumnya tidak pernah menjadi penghuni kotak pensilnya. Benar, pulpen yang saat ini dipegangnya itu memang bukan pulpennya. Itu pulpen milik Kenzie.

Sewaktu pulang sekolah tadi, Rissa masih memergoki pulpen itu terjatuh tanpa disadari pemiliknya. Rissa tidak punya kesempatan memanggil Kenzie yang tampak terburu-buru keluar kelas sambil menelepon sopirnya untuk memastikan sudah datang menjemput. Tanpa berniat mengejar, Rissa memutuskan menyimpan sementara pulpen itu di dalam kotak pensilnya.

Pulpen Kenzie masih dipilin-pilin jemari Rissa. Terlarut dalam lamunan, mulai membangkitkan kecurigaan Rissa tentang anak berkursi roda yang menyimpan foto kecilnya itu memanglah tidak diragukan lagi dia Kenzie. Si pemilik mata hijau itu.

Perasaannya kembali campur aduk. Entah bagaimana mengambil sikap dalam jangka waktu berikutnya. Dari sekian memikirkan kemungkinan paling benarnya adalah Kenzie, rupanya belum juga mempertegas hati Rissa untuk mengakui siapa dirinya di depan cowok itu.

Satu sisi hatinya masih tertindih keraguan. Serakahnya ingin menjorok masuk juga ke sisi hati satunya lagi untuk menyuruh merahasiakan saja identitas Ica itu selamanya. Namun, sekeping rindu terpendam yang menolak dirajai keraguan berusaha menggedor mata batin Rissa supaya jujur. Jujur bahwa ia cukup senang Kenzie selama ini masih mengingatnya dari foto yang bahkan tetap cowok itu simpan. Satu fakta itu berhasil menyemangati Rissa bahwa selain Kenzie, ada satu lagi anak pemberi plester di masa kecilnya dulu yang ia harapkan juga masih mengingatnya hingga kini.

Tangan kanan Rissa meraih selembar foto polaroid dari dalam laci meja belajarnya. Rasanya aneh memandangi foto dirinya sendiri. Namun, ia juga tidak mencegah seulas senyuman kecil itu lolos dari bibir ranumnya. Ia tidak tahu apakah Kenzie sudah menyadari atau belum kalau foto Ica itu hilang karena diambil sendiri oleh Rissa.

Ah, Rissa memang sudah mengambil foto itu tanpa izin. Lagipula itu, kan, fotonya sendiri. Apa salahnya? Tidak ... tetap saja Rissa sudah memberikannya pada cowok itu.

Haruskah Rissa mengembalikannya?

Suara mama Rissa terdengar dari lantai bawah. Oh, sepertinya mamanya sudah pulang dari rumah sakit. Bergegas Rissa turun dari kamarnya demi menyambut kepulangan mama tercintanya.

Rissa meniti riang satu per satu anak tangga bersamaan mamanya sudah menunggu di bawah dengan senyum hangatnya yang khas, kendati guratan lelah secara kasatmata terbingkai di wajahnya. Terlihat di tangan kiri mamanya tersampir snelli, jas putih kebanggaan mamanya sebagai seorang dokter. Sedangkan tangan kanannya menenteng sebuah goodie bag.

"Mama bawa apa?" tanya Rissa setelah mencium punggung tangan mamanya.

"Oh, ini tadi teman mama di rumah sakit ada yang bagi-bagi kue buat syukuran anaknya lulus S2," jelas Anna.

Mulut Rissa membuka tanpa suara ketika melongok isi di dalam goodie bag itu benar-benar ada hurricane roll cake yang sangat menggiurkan jika dilihat dari gambar kotak kemasannya.

"Dua, ya, Ma?"

"Dua?" Anna menanggapi pertanyaan putrinya dengan kening berkerut. Lalu tiba-tiba ia terbeliak hingga nyaris menepuk dahinya sendiri. "Astagfirullah, mama lupa. Iya, tadi memang kuenya ada lebihan. Terus mama dikasih dua. Niat mama, sih, yang satu itu mau mama kasih ke Kenzie sama Om Adib. Tapi mama, kok, jadi lupa begini, ya, mau mampir ke rumah Om Adib. Padahal di perjalanan pulang, kan, mama melewati blok rumah mereka."

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang