65. Hilang

911 118 40
                                    

"INI kopinya, Pak." Secangkir kopi hitam diletakkan Bi Wati ke hadapan Pak Mahmud.

"Nah, lha, ya, ini yang namanya top markatop. Ada pisang goreng, ada wedang kopi. Matur nuwun, Bi," ucap Pak Mahmud semringah, lalu mulai mencomot satu pisang goreng yang juga baru ditiriskan Bi Wati.

"Ati-ati, masih panas, Pak."

"Iya, Bi."

Sebentar kemudian, Bi Wati ikut mengambil tempat duduk bersama Pak Mahmud di kursi kosong lain depan meja kitchen island. Di tangannya sudah ada sebuah kemeja PDL berwarna cokelat muda serta kotak peralatan menjahit.

"Jahit opo, toh, Bi?" Pak Mahmud bertanya kepo.

"Ini, mau benerin kancing baju seragam Pramuka-nya Mas Kenzie yang lepas," jawab Bi Wati sambil memicing-micingkan matanya ketika ujung benang belum masuk-masuk juga ke lubang jarum, padahal sudah dibasahi dengan air liur.

"Wah, kebetulan, Bi. Hak celana saya juga ada itu yang mengkap-mengkap jahitannya gara-gara sudah sesak dipakai. Bok sekalian jahitin, Bi."

"Ya, bawa ke sini saja, Pak. Nanti saya jahitkan. Mungkin perut Pak Mahmud itu yang tambah melar, makanya celananya jadi sesak," kikih Bi Wati sambil mulai menjahitkan kancing seragam Pramuka Kenzie.

Merasa tanggapan Bi Wati ada benarnya, segera saja Pak Mahmud mencubit gelambir lemak di perutnya. Aduh, jangan sampai perutnya jadi ketularan buncit seperti perut Pak Kosim. "Berarti ini salahnya Bi Wati."

"Lho, kenapa jadi saya yang disalahin?" Bi Wati yang selalu nyaman mengenakan dasternya—kali ini model kelelawar bergradasi—itu menoleh pria berstatus sopir di hadapannya dengan raut memprotes.

"Iya, gara-gara masakan Bi Wati, saya jadi makan enak terus di sini sampai suka nambah-nambah. Terus jadinya saya malah gendutan begini, yo, toh?"

"Owalah, Pak, Pak. Ya, jangan salahkan masakan saya. Itu, sih, Pak Mahmud sendiri yang dasar doyan."

"Saya mau diet."

"Tapi kalau masakan istri sendiri tetap lebih enak, kan, Pak Mahmud?"

Pak Mahmud mendesah berat. Air mukanya berubah menerawang. "Pastinya, Bi. Saya jadi kangen masakan istri saya."

"Omong-omong, gimana keadaan istrinya Pak Mahmud sekarang?" tanya Bi Wati mulai menyinggung istrinya Pak Mahmud yang tengah dirawat di rumah sakit.

"Alhamdulillah, Bi. Setelah operasi usus buntunya, keadaan istri saya sekarang sudah berangsur membaik, makanya bisa saya tinggal kerja lagi. Biar dia dijagain dulu sama anak dan ibu mertua saya."

"Syukurlah, Pak, kalau begitu." Bi Wati turut merasa lega. Wanita paruh baya itu kini mengambil gunting untuk memotong benang, lalu melipat kembali seragam Pramuka yang sudah dibetulkan kancingnya tersebut.

"Tapi ...."

"Tapi apa, Pak?" tanya Bi Wati sebab sepatah kata yang justru hanya digantungkan Pak Mahmud membuatnya penasaran.

Jeda sejenak belum menghendaki Pak Mahmud meneruskan perkataannya lagi, hingga pria berpotongan wajah tegas itu mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. "Saya bingung harus saya apakan uang ini, Bi."

Bi Wati menatap amplop cokelat yang digenggam Pak Mahmud dengan ekspresi senada ucapannya barusan. "Bukankah itu uang pemberian Bu Sevanee untuk biaya operasi istrinya Pak Mahmud?"

"Iya, Bi. Bu Sevanee mendengar waktu saya dan mertua saya berbicara di telepon soal biaya operasi itu. Jujur, saya memang butuh uang saat ini. Tapi saya merasa tidak berhak menerimanya. Lagi pula kalau untuk biaya operasi, sebenarnya saya masih ada sedikit tabungan. Tapi, yah, itu berarti saya terpaksa harus mengambil sebagian uang tabungan yang untuk daftarin kuliah anak saya nanti."

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang