SAMBIL melangkah lebar dan cepat, Kenzie menggerutu habis-habisan hingga kembali ditemuinya Sakha di gazebo. Bedanya sekarang gazebo sudah dalam keadaan bersih tanpa kulit kacang berserakan. Siapa lagi kalau bukan Sakha dengan prinsipnya yang selalu menjaga kebersihan itu tak akan tahan melihat sampah di sekelilingnya.
Sakha yang kini asyik membaca majalah bola belum menyadari bagaimana senewennya tampang Kenzie. Hingga mangkuk bakso yang ditaruh Kenzie dengan setengah membanting keruan saja mengagetkan Sakha sebagai empunya jantung.
"Astagfirullah ... kira-kira dong, Ken. Di hadapan kamu ini masih ada orang yang punya jantung. Nggak bisa apa nggak usah main banting-banting aja?" omel Sakha seraya mengusap-usap dadanya dengan sebelah tangan.
"Sori."
"Kamu masih kesel karena aku suruh beliin bakso?"
"Bukan. Ini masalah lain."
"Terus?"
Kenzie berkacak pinggang masih dengan tampang memberengut. "Aku barusan ketemu cewek aneh tahu, nggak?"
"Cewek aneh?" tanya Sakha seraya menggapai mangkuk baksonya. Namun, ia sontak terkejut ketika melihat tampilan bakso di dalam mangkuk bening itu lebih mirip seperti makanan sisa. "Hah, nggak salah, nih? Ini beneran bakso? Kamu niat beliin nggak, sih? Udah aku nungguin kamu beli bakso aja lama. Giliran datang malah dapatnya seupil gini? Atau jangan-jangan udah kamu makan duluan dan ini sisanya?" semprotnya menatap Kenzie seolah meminta penjelasan tentang apa yang terjadi dengan baksonya.
Bukannya ingin mencela dan tidak bersyukur sudah dibelikan, tetapi rasanya kurang wajar saja kalau untuk satu porsi bakso utuh yang tersaji justru baksonya cuma tiga gelinding ukuran kecil, minya seuprit, terus sawinya juga ngilang ke mana coba?
"Madha taqul? Enak aja," sungut Kenzie tidak terima atas tuduhan Sakha. Ia lalu mendecakkan lidah dan duduk menyebelahi Sakha tanpa mengubah raut kedongkolannya. "Kamu salahin aja itu cewek aneh yang seenaknya main serobot minta bagian bakso yang tinggal seporsi. Orang jelas-jelas aku duluan yang pertama pesan, tapi dia malah ngenyel minta satu porsi bakso itu buat dia sendiri."
Tawa Sakha langsung menderai membayangkan kejadian yang diceritakan Kenzie. "Ya Allah, Ken ... mestinya kamu yang ngalah aja, kan, bisa."
"Eh, Kha, ini tuh bukan soal aku mau ngalah atau nggak. Sebenarnya aku juga nggak masalah kalau dia bicaranya baik-baik. Tapi memang dasarnya tuh cewek aja yang aneh."
"Aneh gimana?"
Hidung Kenzie kembang kempis setiap kali mengingat cewek berpenampilan aneh yang judesnya seperti Mak Lampir habis makan oseng-oseng mercon itu. Kenzie pun mengadukan betapa anehnya penampilan cewek tadi yang seperti orang minta sumbangan. Namun, di bagian cewek itu mengintip-intip rumahnya, Kenzie sengaja melewatkannya.
Entahlah, apa alasan cewek tadi yang mengatakan sekadar menyukai suasana rumahnya itu benar atau tidak. Yang jelas Kenzie cukup bisa memercayai cewek itu tidak punya maksud jahat. Setidaknya kalau ia mengingat tukang bakso keliling itu saja yang sepertinya juga sudah mengenal baik cewek yang disebutnya bernama Rissa tadi. Jadi, besar kemungkinan cewek itu masih tinggal di kompleks perumahan ini.
Tunggu! Siapa tadi namanya? Rissa? Kok sepertinya Kenzie pernah dengar baru-baru ini babanya gemar menyebutkan nama itu, ya?
"Kamu harus tahu kalau Tante Anna punya seorang anak perempuan. Dia seumuran denganmu. Nanti kamu bakal satu sekolah sama dia. Syukur-syukur kalau kalian bisa satu kelas. Oh, ya, namanya Rissa. Papa sudah lihat fotonya. And she's so beautiful."
Namanya Rissa ....
Rissa ....
Rissa ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan berhijab demi memenuhi janji di hari ulang tahunnya yang tepat menginjak angka tujuh belas. Esensi berhi...