JALANAN masih terlihat basah oleh sisa-sisa gerimis. Subuh tadi hujan memang mengguyur cukup deras. Namun, menjelang syuruk, semburat sinar mentari berhasil menyibak mendung. Pagi yang cerah pun siap disongsong semua makhluk hidup di belahan bumi itu.
Tumbuhan berdaun hijau memulai fotosintesis. Sekawanan burung keluar dari sarangnya dan berterbangan tinggi-rendah sembari melantunkan kicauannya yang merdu. Orang-orang kembali berikhtiar untuk menjemput rezeki di pagi hari. Para pelajar berpamitan menuntut ilmu untuk bekal masa depan.
Pintu geser MPV hitam itu terbuka, memperlihatkan Kenzie yang beranjak turun lengkap dengan seragam sekolahnya. Mentari pagi menyorot seulas senyum di bibirnya. Selaras tarikan sudut-sudut bibirnya yang melengkung ke atas itu, ia merasakan tubuhnya jauh lebih segar pagi ini. Mungkin karena setelah beberapa hari ini dilanda insomnia, akhirnya baru semalam ia bisa benar-benar tidur nyeyak di kamar babanya.
Langkah ringan Kenzie tiba-tiba terpaku bertepatan seseorang dari arah lapangan parkir motor turut sejenak mengunci atensi dan memudarkan senyum cerahnya.
Erlang melakukan hal yang sama. Membeku di tempat, ia tidak mengira akan berpapasan dengan Kenzie sepagi ini.
Keduanya masih sama-sama memiliki mulut yang seperti direkatkan oleh lem. Sampai Erlang memalingkan wajah, lalu kembali mengambil langkahnya meninggalkan Kenzie.
Sepertinya Erlang masih marah dengan Kenzie. Kenzie pun sadar bahwa perkataannya waktu itu memang terlalu frontal. Tanpa memikirkan apa yang dialami Erlang, ia seenaknya saja menyuruh Erlang mundur dari pekerjaannya. Tanpa tahu rasanya berada di posisi Erlang, ia juga sempat mengecap Erlang tidak menghargai persahabatan mereka karena merahasiakan masalahnya.
Kenzie hanya memandangi punggung yang semakin menjauh itu dengan tatapan nanar. Sudah hampir satu minggu ini ia tidak berbicara dengan Erlang. Demikian pula sebaliknya, Erlang menjadi sosok yang terasa jauh, seakan tak tersentuh, dan membangun temboknya sendiri.
Kenzie tahu jika masing-masing ego masih sama-sama berada di atas, maka pengaruhnya hanya akan membuat pertemanan mereka tidak sehat. Kenzie juga tidak menyukai situasi semacam ini. Harus ada salah satu yang mengalah.
"Erlang, tunggu!" Berinisiatif mengejar, Kenzie berhasil menahan bahu Erlang hingga cowok yang namanya dipanggil itu terpaksa menghentikan jalannya. "Kita perlu bicara."
"Cukup, ya, Ken. Aku nggak mau membahas apa-apa lagi sama kamu."
"Aku mau minta maaf. Lang, sampai kapan kita saling jauh-jauhan? Masa' kamu mau persahabatan kita jadi rusak karena masalah ini."
Belum ada tanggapan Erlang. Jujur saja ia benci berada dalam situasi ini. Bagaimanapun Kenzie tidak salah, tetapi prinsip Erlang saja yang terlalu tinggi.
Melihat Erlang yang masih bungkam, Kenzie hendak membuka suaranya lagi ketika sebuah suara bariton terlebih dahulu menginterupsi. Pak Rahmawan dengan membawa map dokumen di tangannya sudah berdiri di antara mereka.
"Erlangga, kebetulan sekali ketemu kamu di sini. Ada yang mau bapak sampaikan ke kamu. Ayo, ikut ke ruangan bapak sekarang," titah pegawai tata usaha itu.
Berlalunya Erlang tanpa meninggalkan sepatah kata pun agak membuat kedua bahu Kenzie merosot kecewa. Mungkin sekarang ia gagal mengajak Erlang berbaikan. Setidaknya ia akan mencoba lagi nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan berhijab demi memenuhi janji di hari ulang tahunnya yang tepat menginjak angka tujuh belas. Esensi berhi...