"KEN, kalau keberatan, sini aku bawain sebagiannya lagi," ujar Rissa di tengah perjalanannya bersama Kenzie menuju perpustakaan. Kali ini pun mereka kembali diperintahkan Bu Nur mengembalikan tumpukan buku usai berakhirnya jam pelajaran bahasa Indonesia.
"Nggak usah. Aku cowok, udah biasa sama yang berat-berat." Kenzie menyahut tanpa berniat memandang Rissa yang sedikit tertinggal jalan di belakangnya.
Suara datar yang tidak lebih berkekuatan 40 desibel itu masih saja terdengar ketus di liang telinga Rissa yang senantiasa tertutup kain kerudungnya. Rissa memberengut masam dengan kedua biji matanya yang seolah-olah mengeluarkan pintasan kilat laser untuk bisa melubangi punggung tegap cowok itu. Cowok yang karena diamnya jadi dua kali lebih menyebalkan. Cowok yang membuat Rissa ingin mengerti satu hal tentang kesalahan yang mungkin sudah diperbuatnya atas sebab pendiamnya itu.
Cukup, Rissa tidak tahan dibeginikan. Cewek berseragam putih abu-abu serbapanjang itu sepintas berjengit sebelum mempercepat langkahnya menyusul ke depan Kenzie hingga menghentikan jalan mereka. Lalu tanpa aba-aba dilimpahkannya semua buku yang jadi jatah bawaannya hingga genap berpindah ke tangan cowok itu. "Nih, kamu yang bawa semua bukunya. Katanya tadi sebagai cowok, kamu udah biasa bawa yang berat-berat, kan?"
Keruan saja Kenzie hanya bisa terperangah mendapati tindakan seenaknya Rissa. Bahkan kini dengan santainya pula cewek itu berkacak pinggang dan mengambil komando jalan tanpa memedulikan lagi bagaimana ekspresi Kenzie.
Sementara itu, Kenzie hanya bisa mendengkus pasrah. Rissa sudah mendahului jalan beberapa langkah di depannya, tetapi Kenzie masih bergeming. Punggung cewek yang berlabuh kerudung putih membentuk pola segitiga itu dipandanginya dengan nanar.
Kalau terus dekat seperti ini, cara apa pun untuk menjauhi cewek itu pasti tidak akan ada gunanya. Konyolnya Kenzie terlalu yakin menganggap usaha kekanakannya ini akan berhasil mengubur dalam-dalam perasaan itu. Sama saja bohong jika yang terjadi adalah sebuah kenyataan tentang seberapa lelahnya ia bekerja sendirian. Sendirian jatuh cinta. Sendirian patah hati. Jatuh cinta dan patah hati di waktu bersamaan, sungguh kombinasi yang perih untuk melengkapi bagian akhir drama kodian ini.
Namun, luka perih berbungkus lagam hening itu justru membawa Kenzie untuk menyibak sulang fakta menarik ketika Kinar harus memergokinya menuliskan nama Ica pada bagian belakang buku tulis yang dijadikannya media menggambar. Sebuah sketsa taman dengan pancuran air bambu terlihat menakjubkan dari bakat menggambar yang memadukan kemampuan memori fotografisnya itu.
Reaksi Kinar tidak cukup merasa terkagum-kagum dengan gambar semirip aslinya itu atau lantas menyarankannya menjadi pelukis dan arsitek seperti Leonardo da Vinci. Tanpa ba-bi-bu, cewek yang gemar berdandanan imut ala boneka Barbie itu merebut begitu saja buku tulis Kenzie hingga sebuah tulisan di pojok sketsa betul-betul menggantikan titik fokusnya.
"Ica? Siapa itu Ica? Jangan bilang ...."
"Bukan siapa-siapa. Kembaliin bukuku."
"Ah, benar juga. Seharusnya aku udah bisa nebak kamu juga pasti tahu nama kecilnya Rissa karena kamu, kan, sepupunya Sakha. Jadi benar, ya, kalau Sakha masih ingat sama Ica?"
"Sebentar, kamu bilang apa tadi? Maksudmu, Sakha juga pernah kenal sama Ica?"
"Lho, memangnya kamu nggak tahu?"
Kenzie tidak tahu. Ia tidak pernah tahu ada kejadian di mana Sakha bisa mengenal Rissa dengan nama Ica itu semasa kecil mereka. Bukankah Sakha juga tidak pernah bercerita apa pun?
"Rissa cerita, kok, kalau dulu mereka pernah ketemu di taman rumah sakit gitu. Makanya itu waktu Rissa mengenali Sakha lagi di pengajiannya Buya Hanif, dia jadi getol gitu, deh, ngegebet Sakha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan berhijab demi memenuhi janji di hari ulang tahunnya yang tepat menginjak angka tujuh belas. Esensi berhi...